Nationalgeographic.co.id—Sebuah tugu tampak utuh dan tegap menghadap ke utara di kota Kecamatan Selogiri. Tugu ini diberi tengara nama sebagai Tugu Sasana Pusaka Selogiri.
Masyarakat setempat meyakini adanya sebuah pusaka keramat yang tersembunyi di dalam tugu tersebut. Yang lebih ekstrem, pusaka itu tidak bisa diambil atau dicuri oleh orang sembarangan!
Bagi yang meyakininya, pusaka itu merupakan senjata milik Pangeran Sambernyawa—gelar bagi Raden Mas Said, Mangkunegara I. Pusaka itu ia gunakan untuk memberontak dan membunuh tentara VOC di kawasan Selogiri.
Masyarakat percaya bahwa benda pusaka yang tersimpan dalam Tugu Sasana Pusaka memiliki kesaktian sehingga dikeramatkan sampai hari ini. Tatkala mangkatnya Pangeran Sambernyawa, Mangkunegara VII berinisiatif untuk mendirikan sebuah tugu guna menyimpan benda-benda pusaka yang ditinggalkan oleh empunya.
Maka, dibangunlah sebuah tugu pada tahun 1935 atas persetujuan dari Wedana Selogiri, Panewu Pangreh Praja Raden Ngabei Harjo Surana—merupakan kerabat Mangkunegara VII.
Sri Suparmi dalam tesisnya berjudul Cerita Rakyat Kabupaten Wonogiri Suatu Kajian Strukturalisme dan Nilai Edukatif (2009), menjelaskan bentuk-bentuk arsitektur pada Tugu Sasana Pusaka Selogiri.
"Pola bangunannya memiliki kemiripan dengan candi Sukuh di Kabupaten Karanganyar," tulisnya. Begitu pula dengan teknik pembuatannya yang tidak menggunakan semen.
Sri Suparmi melanjutkan, "ukuran dasar tugu memiliki lebar 6 m dengan panjang 8,9 m dan tinggi mencapai 5 m." Diantara kemegahannya, tradisi folklor penduduk lokal mengalir deras melingkupinya.
Apriliani Chrisnanda Putri, salah satu penduduk sekitar, membenarkan adanya kepercayaan lokal yang kuat tentang pusaka keramat yang tersembunyi di dalam sebuah tugu.
Ia menuturkan kepada National Geographic Indonesia bahwa beberapa waktu silam terdapat kisah seseorang yang mencoba mengambil benda pusaka itu, tapi tidak berhasil mengeluarkannya dari dalam tubuh tugu.
Sri Suparmi lewat telaah ilmiahnya menjelaskan bahwa Mangkunegara VII membuat perlindungan yang ketat terhadap benda-benda pusaka tersebut. Benda pusaka dimasukkan ke dalam tugu melalui sebuah lubang di atasnya sedalam 4 meter, lalu ditutup dengan beton agar aman dari bahaya pencurian atau cuaca.
Secara sakral, pusaka keramat itu akan keluar dari persembunyiannya setiap bulan Sura (Muharam). Penduduk dan prajurit praja Mangkunegaran akan memyambangi tugu tersebut dan mengeluarkan pusaka keramat itu.
Mereka adalah orang-orang tertentu yang bisa membuka dan mengeluarkan pusaka dari persembunyiannya. Sebanyak delapan prajurit akan naik ke atas tugu, lalu membuka penutupnya dengan ritual mereka.
Baca Juga: Mangkunegara VII: Andil Besarnya bagi Sepak Bola di Surakarta
Baca Juga: Meneladani Mangkunegara VI, Sang Reformis yang Nyaris Terlupakan
Baca Juga: Gending Ketawang Puspawarna, Persembahan Mangkunegara IV untuk Alien
Baca Juga: Tari Bedhaya, Jejak Perlawanan Mangkunegara I dalam Geger Pacinan
Terdapat tiga benda pusaka di dalamnya: tombak Kyai Totog, tombak Kyai Jaladara, dan keris Kyai Karawelang. Setelahnya, terdapat banyak prosesi sebelum akhirnya dijamasi (dibersihkan).
Sebelum dijamasi, pusaka keramat itu akan disemayamkan semalaman di Pendopo Kecamatan Selogiri. Disana serangkaian upacara adat ala Mangkunegaran dihelat, mulai dari ubarampe hingga sesaji juga disiapkan.
Barulah pada minggu paginya, pusaka itu diarak oleh prajurit muda Praja Mangkunegaran menuju sendang yang terletak di waduk Gajah Mungkur. "Pusaka itu dijamasi di Sendang Asri, Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri," lanjut Sri Suparmi.
Selama dibersihkan, sejumlah prosesi adat dilakukan hingga melibatkan penduduk dan dinas setempat. Setelah selesai, pusaka dikembalikan lagi ke dalam Tugu Sasana Pusaka Selogiri dan baru akan dijumpai lagi pada bulan Sura berikutnya.
Source | : | Digital Library Universitas Sebelas Maret Surakarta |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR