Nationalgeographic.co.id—Setiap pagi, Jaouad Benaddi berusaha membuat kambingnya memanjat pohon argan dan berdiam beberapa saat. Namun pagi itu, 12 ekor kambingnya tampak enggan menuruti perintah majikannya.
Ingin membantu, putra Benaddi yang berusia 13 tahun, Khalid, mengambil sekantong gandum dan naik ke pohon. Seekor kambing mengembik dan mulai mengikuti. Khalid memanjat lebih tinggi sambil memegang sekantong gandum agar kambing itu mau mengikutinya. Usahanya sempat sia-sia, kambing itu menolak naik dan melompat ke tanah.
Setelah beberapa kali percobaan, kambing-kambing itu pun mengikutinya. “Selusin kambing berdiri diam di atas pohon, dipajang seperti lukisan hidup di pohon argan,” tulis Erika Hobart di National Geographic.
Kambing pemanjat pohon dari Maroko menjadi berita utama dalam beberapa tahun terakhir. Ini sering digambarkan sebagai fenomena alam yang unik di negara Afrika Utara itu. Secara naluriah, kambing tertarik pada buah di pohon argan dan dengan lincah mereka memanjat untuk menikmatinya.
Mauro Belloni, seorang siswa yang berkunjung dari Italia yang berhenti di pohon milik Benaddi, tampak tercengang. "Ini cukup menakjubkan," kata pada Hobart. "Saya pikir kambing-kambing itu palsu saat akan diambil fotonya. Tapi mereka nyata dan benar-benar berpose."
Tidak sedikit yang melakukan usaha seperti Benaddi. Kekeringan di Maroko selama beberapa dasawarsa membuat petani sulit untuk bercocok tanam. Sekitar awal tahun 2000-an, beberapa orang mulai menggembalakan kambingnya agar mau ‘berpose’ di pohon argan.
Sejak pagebluk COVID-19 melanda, sumber pendapatan dari turis pun otomatis menghilang. Sampai akhirnya Maroko membuka pintu kembali untuk turis.
Tak ayal bisnis ini mendapat kritik dari pendukung kesejahteraan hewan seperti Liz Cabrera Holtz dari World Animal Protection.
“Hewan-hewan ini dimanipulasi dan dieksploitasi,” kata Holtz. “Mereka tidak bisa bergerak bebas, tidak memiliki akses ke makanan, air, atau bahkan naungan. Dipaksa untuk tinggal di pohon selama berjam-jam bukanlah perilaku yang normal."
'Kambing terbang'
Kambing di Maroko memiliki keahlian memanjat pohon dan gunung. Karena desakan ekonomi, mereka dilatih untuk bertengger di pohon argan dan dijadikan tontonan untuk turis.
“Beberapa tamu menyebut mereka sebagai ‘kambing terbang’. Bagi turis, tontonan ini unik dan tidak ada duanya,” ungkap Mohamed Elaamrani, seorang pemandu wisata di Marrakech.
Atraksi ini dapat dilihat di sepanjang jalan dari Marrakech menuju Essaouira. Kambing umumnya bertengger dari pagi hingga sore hari, saat lalu lintas paling padat.
Benaddi berharap ketika pengemudi menepi, mereka akan meninggalkan tip untuk atraksi para kambingnya itu. “Beberapa orang membayar 10 dirham (sekitar satu dolar),” katanya. Beberapa bahkan memberikan 10 dolar.
Baginya, uang itu sangat penting untuk menghidupi istri, lima anak, dan ternaknya. Seperti petani lain, Benaddi pun mengalami kesulitan saat kekeringan melanda dan panen gandumnya gagal. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia mulai melatih kambing untuk berpose pada tahun 2019.
Di saat hari ramai, setidaknya 10 kendaraan akan berhenti dan ia bisa mendapatkan sekitar 20 dolar Amerika.
Melatih kambing untuk berpose
“Butuh waktu hingga enam bulan untuk melatih kambing dan mereka sangat pintar,” kata Benaddi. Namun tidak sedikit dari kambing Benaddi yang keras kepala dan lebih suka mengembara, tuturnya.
Saat melatih, ia memikat kambing ke pohon dengan buah argan kemudian mendorong mereka ke tempatnya dengan tongkat. Anak kambing sering diikatkan pada batang pohon untuk memudahkan wisatawan berfoto dengannya.
Adnan El Aji, seorang dokter hewan di Essaouira, mengatakan kambing tangguh dan dapat mengatasi stres. Misalnya panas dan kelangkaan air. Tetapi berdiri di pohon selama berjam-jam di bawah terik matahari bisa menyebabkan terkena sengatan panas dan dehidrasi.
Kambing pun bisa jatuh serta mengalami patah tulang. Ia ingat ketika seorang turis membawa kambing yang mengalami patah kaki. “Turis itu yang membayar biaya pengobatannya,” ungkap dokter hewan itu.
Eksploitasi hewan
“Maroko tidak memiliki undang-undang perlindungan hewan yang kuat,” kata Holtz.
Kambing yang dipaksa memanjat pohon untuk kesenangan turis. Ini sama dengan penyiksaan hewan. “Meskipun aktivitas itu mungkin tampak tidak menyiksa, ini adalah kekejaman terhadap hewan,” tambahnya lagi.
Namun di Maroko, memanjat pohon adalah perilaku alami kambing. Perilaku alami kambing ini sebenarnya membantu penyebaran biji argan oleh kambing. Namun di sisi lain, kambing juga melahap daun dan bibit sehingga memperlambat penyebaran pohon argan.
Benaddi memiliki alasannya sendiri. Ia menolak dianggap kejam karena memaksa kambing-kambing itu bertengger selama berjam-jam. “Kambing-kambing itu hanya berada di pohon selama tiga sampai empat jam setiap kali,” katanya.
“Bayangkan jika saya menahan mereka di dalam rumah, terkurung dan kelaparan,” imbuhnya. Menurutnya, petani tidak memiliki uang sehingga tidak bisa memberi makan ternaknya. Jadi, ini adalah satu-satunya solusi, baik bagi kambing maupun pemiliknya. Uang yang dihasilkan dari turis bisa digunakan untuk menghidupi keluarga dan ternak.
Harapan petani Maroko
Kondisi kekeringan di Maroko diperkirakan akan meningkat hingga pertengahan abad, menurut Kementerian Pertanian Maroko. Jika sebelumnya petani tidak perlu mengeluarkan uang untuk memberi makan kambing, lain halnya sekarang. Kekeringan membuat kambing kehilangan lanskap hijau di sekitar pohon argan.
Elaamrani si pemandu wisata mengatakan bahwa ia lebih suka melihat kambing-kambing itu berkeliaran dengan bebas. Tetapi setelah dua tahun pandemi, dia tidak mampu menolak keinginan turisnya.
"Mereka membayar sejumlah uang untuk melihat atraksi," katanya. Elaamrani pun mencoba menjelaskan situasinya dengan cara yang jujur. “Ini bukan masalah hitam-putih. Sulit bagi kambing, tetapi juga sulit bagi orang yang memeliharanya,” Elaamrani menambahkan.
Benaddi mengatakan bahwa di dunia yang ideal, tanah akan menjadi hijau kembali. Mereka akan kembali bertani dan bisa menjaga keluarga. Pada akhirnya, kambingnya tidak perlu berdiri di pinggir jalan, menunggu orang berhenti dan memberinya tip.
“Kami berharap yang terbaik,” katanya. "Tapi hanya Tuhan yang tahu masa depan."
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR