Pada kelompok berikutnya diolesi oleh kitosan nanopartikel. Kitosan nanopartikel itu menyelimuti lembah-lembah itu. Pada dua kelompok terakhir, pisang diselimuti celupan kitosan dengan konsentrasi berbeda, yakni 1,15 persen dan 1,25 persen.
Baca Juga: Dibuang Sayang, Kegiatan Barter.in Jadi Solusi Limbah Pakaian
Baca Juga: Harapan Baru Penanganan Limbah: Varian Enzim Bisa Hancurkan Plastik
Baca Juga: Ekonomi Sirkular: Siasat Mewajibkan Limbah Didaur Ulang di Segala Lini
Baca Juga: Ketika Pengolahan Limbah Tahu Indonesia Menarik Perhatian Dunia
Hasilnya, para peneliti mengungkap, kinerja pengawetan yang baik ada pada kitosan dengan konsentrasi 1,15 persen. Pematangannya bisa ditunda hingga tujuh sampai sembilan hari. Konsentrasi lainnya dan nanopartikel justru terlalu rapat, sehingga pisang sulit untuk bernapas dan jadi lembek, walau kualitasnya lebih bagus dari kontrol.
"Pematangannya melambat. Nanopartikel jadi bagus tapi jadi benyek karena hasil respirasinya ngumpul," ujar Fenny. "Karena kami melihat dari sisi biologisnya, kita lihat kadar gulanya, berat kulit, dan buahnya, termasuk ekspresi gennya. Dan kita lihat itu ada gen-gen penanda kalau berubah."
"Yang berubah ada di enzim. Itu ada polanya. Kontrol itu bisa jadi drop [waktu penyimpanannya]. Dengan dia drop itu produksi etilennya turun." Etilen adalah yang memicu pematangan buah.
Pengawetan alami ini sangat berarti secara ekonomi bagi pedagang dan petani buah. Selain itu, kitosan pun terbukti tidak memiliki efek samping karena biopolimernya akan jadi serat yang tidak tercerna dalam tubuh. Saat ini, kitosan telah mendapatkan persetujuan dalam Keputusan BPOM No. HK.00.05.52.6581 untuk penggunaan pangan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR