Nationalgeographic.co.id—Produk buah-buahan mengalami perjalanan yang tidak singkat untuk mencapai konsumen dari perkebunan. Terutama di pasar, buah-buahan seperti durian dan pisang sudah disentuh oleh banyak tangan manusia.
Tangan kita mengandung mikrobakteri, selain membuatnya jadi kotor juga menjadikannya rentan mengalami pembusukan. Teknologi pengawetan memang bisa diterapkan oleh petani dan pedagang, tetapi harganya pun sangat mahal.
Fenny Martha Dwivany peneliti di Sekolah Ilmu Tinggi dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB) adalah salah satunya. Dia bahkan melihat selama ini di Indonesia produksi pisang ada di peringkat enam tertinggi dunia, tetapi hanya di tingkat 60 sebagai eksportir. Salah satu kendalanya adalah pada penyimpanan.
Buah seperti pisang, pepaya, dan alpukat bisa 'bernapas'. Mereka memiliki sistem respirasi. Untuk menjaga keutuhannya agar tidak busuk, para pedagang atau petani akan menggantungnya. Bukan tanpa alasan, menurut Fenny, secara biologis hal itu benar-benar bisa mempertahankannya. Tapi di satu sisi, masih banyak penyimpanan yang kurang baik.
"Setelah dipanen, [biasanya] ditumpuk dan tentunya tidak bisa menghasilkan buah yang baik. Bahkan, kemudian pematangannya diberi karbit yang sangat konvensional," ujarnya dalam Bincang Redaksi-49 bertajuk Kitosan: Berkah di Balik Limbah pada Selasa, 7 Juni 2022.
Kebanyakan dari industri pisang bisa mempertahankan pisang paling lama sekitar lima hari. Tetapi, ketika hampir mencapai satu minggu, pisang mereka sudah hampir coklat. Inilah kendala yang membuat pisang kerap tak sampai di tangan konsumen dalam kondisi lestari, bahkan untuk mempertahankannya dikirim sebagai komoditas ekspor pun tidak sampai.
Dia bersama para ilmuwan lain pun mencoba pengawetan alami dengan harga yang bisa terjangkau. Bahan dasarnya pun jarang dikenal di Indonesia: limbah cangkang krustasea seperti kepiting dan udang. Cangkangnya mengandung kitin yang diolah menjadi kitosan yang punya ragam khasiat dan manfaat, serta tidak memiliki efek samping.
Penemuannya itu dipaparkan dalam makalah yang diterbitkan di Journal of Plant Biotechnology tahun 2018, berjudul Effect of chitosan and chitosan-nanoparticles on post harvest quality of banana fruits.
"Kitosan ini menarik, dari yang suatu dibuang ternyata diolah tidak susah dan menjadi biopolimer yang sangat tinggi. Kita kan kaya akan laut. Kepiting itu kan punya laut banyak. Asal laut kita enggak kering, itu masih ada kepiting," kata Ronny Martien, peneliti di Departemen Farmasetika Universitas Gadjah Mada dalam forum yang sama. Dia tidak terlibat dalam penulisan studi, tapi memproduksi kitosan yang dipakai Fenny dan tim.
Ronny mengatakan, pemanfaatan kitosan sudah diterapkan di negara-negara lain. Bahkan, bahan bakunya justru berasal dari Indonesia yang diekspor, lalu limbahnya diolah. "Potensi kitosan itu sangat-sangat besar," ia menekankan. "Ekspor daging kepiting itu sangat besar ke Amerika, dan kita memiliki [sumber daya alam] yang tinggi, dan gimana caranya limbah ini bisa termanfaatkan."
Dalam percobaan yang dilakukan Fenny dan tim, ada empat kelompok. Kelompok pertama adalah kontrol yang tidak diberikan apa pun. Kulit pisang saat dilihat dalam mikroskop elektron, memiliki lembah-lembah untuk berespirasi.
Pada kelompok berikutnya diolesi oleh kitosan nanopartikel. Kitosan nanopartikel itu menyelimuti lembah-lembah itu. Pada dua kelompok terakhir, pisang diselimuti celupan kitosan dengan konsentrasi berbeda, yakni 1,15 persen dan 1,25 persen.
Baca Juga: Dibuang Sayang, Kegiatan Barter.in Jadi Solusi Limbah Pakaian
Baca Juga: Harapan Baru Penanganan Limbah: Varian Enzim Bisa Hancurkan Plastik
Baca Juga: Ekonomi Sirkular: Siasat Mewajibkan Limbah Didaur Ulang di Segala Lini
Baca Juga: Ketika Pengolahan Limbah Tahu Indonesia Menarik Perhatian Dunia
Hasilnya, para peneliti mengungkap, kinerja pengawetan yang baik ada pada kitosan dengan konsentrasi 1,15 persen. Pematangannya bisa ditunda hingga tujuh sampai sembilan hari. Konsentrasi lainnya dan nanopartikel justru terlalu rapat, sehingga pisang sulit untuk bernapas dan jadi lembek, walau kualitasnya lebih bagus dari kontrol.
"Pematangannya melambat. Nanopartikel jadi bagus tapi jadi benyek karena hasil respirasinya ngumpul," ujar Fenny. "Karena kami melihat dari sisi biologisnya, kita lihat kadar gulanya, berat kulit, dan buahnya, termasuk ekspresi gennya. Dan kita lihat itu ada gen-gen penanda kalau berubah."
"Yang berubah ada di enzim. Itu ada polanya. Kontrol itu bisa jadi drop [waktu penyimpanannya]. Dengan dia drop itu produksi etilennya turun." Etilen adalah yang memicu pematangan buah.
Pengawetan alami ini sangat berarti secara ekonomi bagi pedagang dan petani buah. Selain itu, kitosan pun terbukti tidak memiliki efek samping karena biopolimernya akan jadi serat yang tidak tercerna dalam tubuh. Saat ini, kitosan telah mendapatkan persetujuan dalam Keputusan BPOM No. HK.00.05.52.6581 untuk penggunaan pangan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR