Nationalgeographic.co.id—Studi baru dari University of Southern Mississippi mengungkapkan bahwa setidaknya ada sekitar tiga juta bangkai kapal yang karam di dasar laut di seluruh dunia, banyak di antaranya yang terbuat dari kayu. Tumpukan kayu-kayu yang terendam ini kemudian menjadi tempat berkembang biak bagi mikroba laut dalam.
Menurut penelitian tersebut, jutaan kapal karam yang hilang di laut tersebut telah mengubah kehidupan laut dalam. Laporan penelitian tersebut telah diterbitkan di jurnal frontiers in Marine Science dengan judul "Historic Wooden Shipwrecks Influence Dispersal of Deep-Sea Biofilms" pada 8 Juni 2022.
Para peneliti mengatakan struktur buatan manusia ini memiliki dampak penting pada ekosistem yang rapuh di dasar lautan. Dampak tersebut telah mencapai tingkat yang belum pernah diapresiasi sebelumnya.
Ahli ekologi mikroba molekuler Leila Hamdan dari University of Southern Mississippi kepada science alert mengatakan, mikroba laut dalam yang hidup di bangkai kapal yang terendam diposisikan di bagian bawah rantai makanan bawah laut. Sehingga perubahan pada mikroba ini dapat berdampak pada kehidupan laut lainnya, dan, pada akhirnya, semua yang hidup di darat juga.
"Komunitas mikroba penting untuk disadari dan dipahami karena mereka memberikan bukti awal dan jelas tentang bagaimana aktivitas manusia mengubah kehidupan di laut," kata Hamdan.
Hamdan dan rekan peneliti memilih dua situs kapal karam abad ke-19 di Teluk Meksiko untuk studi mereka. Mereka menempatkan balok kayu pinus dan ek di sekitar lokasi, dari tepat di sebelah bangkai kapal hingga sejauh 200 meter atau sekitar 656 kaki, dan meninggalkan kayu di sana selama empat bulan.
Balok kayu tersebut kemudian diambil dan diukur bakteri, archaea, dan jamurnya. Keragaman mikroba bervariasi tergantung pada kedekatan dengan lokasi bangkai kapal.
Keragamannya memuncak sekitar 125 meter atau sekitar 410 kaki jauhnya. Jenis kayu juga membuat perbedaan, dengan ek lebih menguntungkan bagi keanekaragaman hayati mikroba daripada pinus.
Habitat alami yang keras – pohon yang tumbang ke sungai dan lautan sudah terkenal karena mempengaruhi keanekaragaman hayati air tempat mereka jatuh. Apa yang ditunjukkan oleh penelitian ini adalah bahwa bangkai kapal yang ditinggalkan oleh manusia juga mempengaruhi kehidupan mikroba di bawah laut.
"Biofilm inilah yang pada akhirnya memungkinkan habitat keras berubah menjadi pulau-pulau dengan keanekaragaman hayati," kata Hamdan.
Dari temuan para peneliti, secara keseluruhan, di kedua lokasi, keberadaan bangkai kapal meningkatkan kekayaan mikroba di air sekitarnya. Bangka itu juga mengubah komposisi dan pola penyebaran biofilm yang menahan mikroba.
Seperti yang diharapkan, faktor tambahan yang mempengaruhi kehidupan mikroba adalah kedalaman air dan kedekatan dengan sumber nutrisi lain, seperti delta Sungai Mississippi.
Baca Juga: Merapah Rempah: Cerita Bahtera-bahtera Kuno di Dasar Samudra Kita
Baca Juga: Bangkai-Bangkai Kapal Kepulauan Seribu, Dunia Lain yang Masyhur
Baca Juga: Ilmuwan Melihat 'Makhluk Misterius' Raksasa Saat Meneliti Kapal Karam
Baca Juga: Uluburun, Kapal Karam yang Membawa 20 Ton Barang-Barang Mewah Kuno
Sementara penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki fenomena di lokasi yang lebih luas. Temuan awal ini cukup untuk menunjukkan bahwa bangkai kapal merupakan pertimbangan penting dalam keanekaragaman hayati bawah laut.
Tim di balik studi terbaru ini menunjukkan bahwa struktur buatan manusia lainnya, seperti anjungan minyak, dapat memiliki dampak serupa pada mikrobioma laut dalam. Dan sekali lagi penelitian lebih lanjut dibenarkan dalam upaya mencari tahu secara spesifik.
"Sementara kami menyadari dampak manusia di dasar laut meningkat melalui berbagai penggunaan ekonomi, penemuan ilmiah tidak sejalan dengan bagaimana ini membentuk biologi dan kimia lanskap bawah laut alami," kata Hamdan.
"Kami berharap pekerjaan ini akan memulai dialog yang mengarah pada penelitian tentang bagaimana habitat yang dibangun telah mengubah laut dalam."
Source | : | Science Alert,Frontiers in Marine Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR