Nationalgeographic.co.id—Sampai saat ini, Indonesia dan Belanda tidak punya kesepakatan untuk mengirimkan pekerja migran. Pekerja migran Indonesia di Belanda hanya ada di sektor-sektor tertentu, seperti kemampuan tinggi dan kesehatan.
"Banyak saat ini pengiriman perawat [dari Indonesia] di Belanda tapi itu pun bukan untuk bekerja, tapi internship istilahnya," kata Yasmin Soraya Fernandez dalam Bincang Redaksi-50 bertajuk Degap Buruh Gelap Indonesia di Belanda pada Jumat, 10 Juni 2022.
"Saat ini diusahakan oleh salah satu agen tenaga kerja di Belanda untuk mendatangkan perawat yang bekerja di ICU yang tingkat skillnya tinggi untuk bekerja di Belanda. Sektornya terbatas di itu saja."
Dia adalah pengamat pekerja migran tak berdokumen di Eropa. Pengamatannya ini diangkat menjadi kisah di majalah National Geographic Indonesia edisi Juni 2022 bersama fotografer dokumenter Rahmad Azhar Hutomo.
"Teman-teman mungkin hanya mengira buruh migran adanya di Asia Barat atau di Asia Tenggara—Singapura, Malaysia—Hong Kong. Jarang ada yang mendengar bahwa di Eropa ada buruh migran Indonesia, memang tidak ada pengiriman resmi buruh atau pekerja migran Indonesia ke Eropa," lanjutnya. Pekerja migran Indonesia di sektor kemampuan rendah hanya baru bisa diterima di Polandia.
Yasmin menjelaskan, sebenarnya para pekerja migran ini datang ke negara-negara Eropa secara legal. Tetapi apa yang membuatnya menjadi gelap, ketika mereka bekerja menggunakan visa yang berbeda dari seharusnya, seperti visa turis atau kunjungan keluarga.
Namun, karena mereka bekerja di sini, status visa mereka melampaui batas yang ditentukan, dan tidak dapat mengurus izin tinggal serta kerja yang resmi. Inilah yang membuat mereka disebut sebagai pekerja migran tak berdokumen.
Kehidupan mereka di negeri kincir angin tidak seindah dari yang dibayangkan. Awalnya, para agen menawarkan mereka untuk bekerja di Eropa dengan rayuan keelokannya dan kemasyhurannya. Rayuan seperti itu seolah menjadi harapan mengubah nasib bagi pekerja di Indonesia yang memiliki masalah ekonomi atau pekerjaan.
"Jadi kawan-kawan ini mengalami banyak permasalahan yang meskipun mereka di sini, kalau misalkan teman-teman melihat kondisi pekerja tak berdokumen lebih baik dari Saudi Arabia—wah mereka pakai [mata uangnya] euro," kata Azhar.
"Sepertinya terlihat mewah, padahal mereka juga menemui permasalahan yang mereka temui. Sedikit melakukan kesalahan misalnya menyeberang lampu merah saat tidak lampu hijau, mereka bisa tertangkap dan mereka—betul bukan kriminal dan hak-haknya dihormati sekali—ada kemungkinan untuk dideportasi."
Selain para agen, kerap juga pekerja Indonesia lain menceritakan kisah keberhasilannya bekerja di Eropa. Kisah kesuksesan mereka seolah menjadi mimpi gemilang yang sebenarnya memiliki sisi buruk terselubung.
Belanda pun dipilih banyak pekerja migran Indonesia karena memiliki selera dan sejarah yang sama. Yasmin mengatakan, walaupun pekerja migran sebenarnya dikirimkan ke negara Eropa lain, pekerja Indonesia memilih untuk datang ke Belanda.
"Kebalik ya, menjual Belanda," Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia, memberi tanggapan. "Dulu ada namanya menjual Hindia agar orang-orang Belanda datang, sekarang menjual Belanda." Saat masa kolonial, pemerintah menyajikan keindahan Hindia Belanda yang menawarkan peluang bagi orang-orang Belanda tiba di Eropa. Keindahan itu dijajakan lewat karya seni berunsur Mooi Indie.
Salah satu kisah pekerja migran tak berdokumen itu adalah Eko (nama samaran). Awalnya dia adalah wirausaha yang kemudian terlilit hutang sejak harga solar naik tinggi, sehingga membuatnya harus mencari pemasukan sebagai pekerja migran.
Saat Eko meniti sebagai pekerja migran, para agen menawarkannya untuk bekerja ke Australia. Tetapi bukannya dikirim ke negeri tetangga Indonesia, justru ia diterbangkan ke Jepang. Di sana ia justru dideportasi ke tanah air.
Karena terdesak hutang, ia pun menuntut agen untuk segera memberikannya pekerjaan. Eko pun berangkat ke Eropa. Sesampainya, ia tidak memiliki jaringan untuk menghubungi siapa, hingga akhirnya bertemu dengan orang Indonesia yang bisa membantunya.
"Para pekerja gelap ini biasanya bekerja di sektor hotel, restoran, kafe, atau menjadi bersih-bersih di rumah, atau tukang," terang Azhar. "Bagaimana para pekerja buruh migran gelap ini mendapat kerja? Mereka menempelkan iklan, nomor telepon mereka di salah satu toko di Belanda, terkadang menitipkan nomor di rumah-rumah sekitar mereka."
Azhar mengikuti kesehariannya yang penuh dengan rasa waswas. "Saya sudah siap bekerja tanpa dokumen karena memang senjata terakhir," kata Eko kepada Azhar. Agar Eko tidak tertangkap karena pelanggaran kecil, Azhar bahkan berhati-hati untuk mengambil gambar kesehariannya.
Untuk tinggal, Eko harus menyewa rumah bersama teman-temannya dengan harga tinggi, sekitar 300 euro (Rp4.675.621). Sangat sedikit bagi tuan rumah yang mau menampung pekerja migran tak berdokumen.
Baca Juga: Kemenaker Targetkan 1,7 Juta Pekerja Terima Bantuan Subsidi Upah hingga Akhir Desember 2021
Baca Juga: Awal Mula Pemberontakan Buruh Tambang Batu Bara Sawahlunto 1927
Baca Juga: Inilah Pekerjaan yang Paling Banyak Peminatnya pada Abad Pertengahan
Baca Juga: Berapa Orang yang Diperlukan untuk Membangun Piramida Agung Giza?
Akibatnya, sekalipun ada yang mau, tak jarang pekerja migran gelap mendapatkan diskriminasi dan eksploitasi tuan rumah. Eksploitasi mereka pun juga terjadi di tempat kerja, seperti jam kerja yang berlebihan, tanpa tunjangan, dan cuti atau hari libur.
"Kenapa story ini penting diceritakan kembali? Pekerja migran ini adalah memiliki peran yang sangat penting di Indonesia saja, pekerja migran ini mereka penyumbang devisa nomor dua setelah migas," kata Azhar.
"Mereka punya peran penting bagi negaranya, mengirimkan uang untuk keluarga, dan berjasa buat tempat negara dia tinggal. Dia memutar perekonomian di Belanda. Kalau saja tidak ada mereka, roda perekonomian bisa macet."
Pekerja migran bukanlah kriminal dan menjadi korban dari agen-agen liar yang menelantarkan mereka. Peliputan kisah ini diharapkan membuka pandangan, khususnya pemangku kebijakan, tentang pekerja migran Indonesia di Eropa yang statusnya gelap, lanjutnya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR