Nationalgeographic.co.id—Fosil tumbuhan adalah jendela ke masa lalu. Keberadaannya memberi kita petunjuk menganai seperti apa planet kita jutaan tahun yang lalu.
Tak hanya memberi tahu kita spesies mana yang ada sebelum sejarah yang dicatat manusia, fosil juga dapat memberikan informasi tentang iklim dan bagaimana dan kapan garis keturunannya mungkin tersebar di seluruh dunia. Namun, mengidentifikasi fosil tumbuhan dapat menjadi rumit, ketika organ tumbuhan gagal untuk terawetkan atau ketika hanya beberapa bagian yang dapat ditemukan.
Dalam American Journal of Botany edisi November 2009, Peter Wilf dari Pennsylvania State University dan rekan-rekannya di AS dan Argentina menerbitkan penemuan dari spesimen fosil tumbuhan runjung yang melimpah yang sebelumnya dikenal sebagai "Libocedrus" prechilensis. Fosil ini ditemukan di Patagonia, Argentina.
Tumbuhan ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1938 berdasarkan fosil satu cabang vegetatif yang karakteristiknya dikatakan paling cocok dengan ciri-ciri konifer kering dan iklim dingin di Amerika Selatan yang ditemukan di daerah penelitian: Austrocedrus (Libocedrus) chilensis, Cordilleran Cypress.
Namun, banyak karakteristik daun, termasuk bentuk khas dan susunan stomata, serta rincian kerucut biji dari spesimen yang baru ditemukan ini sepenuhnya cocok dengan Papuacedrus yang masih hidup. Papuacedrus adalah genus yang saat ini hanya ditemukan di daerah pegunungan tropis Papua dan Maluku.
Berdasarkan spesimen fosil yang baru ditemukan dari 52 dan 47 juta tahun yang lalu, Wilf dan rekan-rekannya kemudian memindahkan deskripsi spesies fosil tersebut ke Papuacedrus, dengan kombinasi nama baru Papuacedrus prechilensis. Salah satu implikasi utama dari pendeskripsian baru ini adalah, karena Papuacedrus dikenal dari habitat pegunungan tropis dan secara fisiologis terbatas pada iklim yang sangat basah, hal itu menambah bukti yang muncul bahwa Patagonia di Eosen dulunya adalah tempat tropis yang hangat dan basah dan bukan padang rumput kering yang dingin seperti hari ini.
Ini juga menambahkan koneksi Pasifik Barat tropis untuk Papuacedrus dan lebih lanjut membangun pertukaran flora dengan Australia dan daerah tetangga melalui koneksi darat Antarktika yang hangat dan berhutan selama Eosen. Sebelumnya, fosil Papuacedrus yang kurang lengkap juga telah ditemukan di Australia dan Antarktika.
"Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana mengidentifikasi fosil yang terawetkan dengan baik dan teridentifikasi umurnya dengan baik dapat memiliki banyak dampak," catat Wilf seperti dilansir EurekAlert!.
Baca Juga: Peneliti Australlia Menemukan Spesies Baru Kanguru Raksasa di Papua
Baca Juga: Melacak Surga Pari Manta di Rajaampat: Yef Nabi Kecil sampai Arborek
Baca Juga: Puluhan Hewan Purba Prasejarah Ditemukan di Gletser yang Mencair
"Fosil-fosil ini memberikan informasi penting tentang evolusi konifer serta sejarah biogeografis belahan bumi selatan. Dikombinasikan dengan kondisi geologi situs yang kuat yang telah kami identifikasi, mereka juga berkontribusi pada reinterpretasi lingkungan yang penting dari area yang luas di masa lalu. Papuacedrus secara fisiologis membutuhkan banyak kelembapan dan tidak dapat menahan kekeringan yang berkepanjangan."
Konsekuensi penting lainnya dari temuan ini adalah bagaimana hal itu berkaitan dengan keragaman besar tumbuhan fosil lain serta spesies serangga yang diketahui dari situs fosil Patagonia. Lingkungan hutan hujan yang subur, mungkin pegunungan, yang ditunjukkan oleh Papuacedrus membantu menjelaskan kekayaan yang menakjubkan ini dari Eosen.
"Revisi [spesies ini] tidak hanya memaksa perubahan besar dalam afinitas biogeografis (Patagonia ke Papua), tetapi juga memberikan dorongan yang menentukan untuk hipotesis penting tentang iklim hutan hujan selama Eosen di Patagonia yang belum sepenuhnya dibuktikan dalam pekerjaan sebelumnya," kata Wilf.
"Ini pada gilirannya membantu menjelaskan keanekaragaman tumbuhan dan serangga yang luar biasa yang ditemukan di Patagonia Eosen."
Source | : | eurekalert.org |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR