Nationalgeographic.co.id—“Indonesia dan semua kekayaan hayatinya telah dikagumi dunia sejak zaman penjelajahan bangsa Eropa ke Hindia Timur pada abad ke-16,” kata Grace Syiariel, Ketua Indonesian Society of Botanical Artists (IDSBA). Kendati banyak puspa asal Nusantara yang telah diteliti dan dipamerkan, imbuhnya, banyak spesies endemik kita yang masih menanti dalam antrean untuk disingkap dunia sains.
Sejumlah 37 seniman botani asal Indonesia dan mancanegara memamerkan karya seni mereka yang bertaut mesra dengan sains di Galeri Nasional Indonesia. Mereka berada dalam naungan Indonesian Society of Botanical Artists (IDSBA)—komunitas seniman botani Indonesia. Kita bisa menyaksikan pesona kejaiban 58 lukisan botani tumbuhan endemik Nusantara dalam pameran bertajuk Ragam Flora Indonesia 3; Botanical Art: Evoking The Beauty Science yang digelar sejak 8 Juli hingga 8 Agustus 2022. Hampir semua karya dihasilkan selama pandemi.
Ragam puspa memang telah lazim menjadi objek karya lukis para maestro di Indonesia—dari Raden Saleh, Abdullah Suriosubroto, dan Basuki Abdullah—demikian ungkap Pustanto dalam sambutannya selaku Kepala Galeri Nasional, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. “Namun, tampak sangat berbeda ketika kita melihat lukisan tetumbuhan yang dihasilkan dari seni botani.”
Menurutnya, pameran ini merupakan arsip ilmiah estetik sehingga para pemirsanya mendapatkan informasi pengetahuan sekaligus keindahan dari jarak yang sangat dekat. Di samping itu pameran karya seni botani ini menampilkan tingkat kerumitan yang dihadapi senimannya. Artinya, untuk mencapai karya yang paripurna, sang seniman perlu memiliki daya tangkap yang baik terhadap objek yang dilukis.
“Karena itu kolaborasi Galeri Nasional Indonesia serta ketertarikan publik terhadap pameran ini menjadi sebuah bentuk apresiasi yang tinggi bagi pelukis-pelukis botani," kata Pustanto, "atas upaya, kerja keras, ketekunan, kesabaran, serta kecintaannya kepada seni lukis ini.”
"Pameran ini menjadi bagian penting dalam khazanah seni rupa di Indonesia yang akan mengubah perspektif kita dalam memandang relasi koeksistensial antarmakhluk hidup,” ungkap Sudjud Dartanto, kurator Galeri Nasional Indonesia. “Wajah seni rupa yang umumnya kental dengan wajah ‘manusia-sentrisnya’, kali ini digeser dengan tumbuhan sebagai subjek representasi."
Kebangkitan kembali seni botani hari ini seolah menjadi napas baru dunia seni rupa Indonesia. Menurutnya, seni botani menjadi sebuah titik temu komunikasi yang memungkinkan terjadinya sambung rasa antara ilmu estetika dan sains. Sejatinya khazanah seni botani ini dapat menjawab kebutuhan kita dalam menghasilkan pengetahuan melalui praktik seni, dan praktik seni yang menghasilkan pengetahuan. “Keduanya itu bertemali erat, saling membangkitkan dan dibuktikan melalui karya-karya luar biasa dari para seniman botani dalam pameran ini."
Kita bisa menyebutnya “kebangkitan kembali” karena sejatinya seni botani modern pernah mewarnai dunia seni rupa kita sejak abad ke-17, seperti laporan Rumphius tentang jejamuan asal Ambon. Bahkan karya seni ini semakin bermanfaat dalam sains ketika Era Pencerahan di Eropa menjangkiti peneliti-peneliti di Hindia Belanda pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
“Terlebih di masa lampau saat akses teknologi kamera masih sangat terbatas,” kata Destario Metusala, botaniwan dan peneliti pada Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). “Bahkan, saat teknologi kamera masa kini yang sudah sangat mumpuni sekalipun, untuk beberapa kasus, ilustrasi botani masih sangat diandalkan.”
Namun, jauh sebelum peneliti-peneliti Eropa menyelisik ragam puspa Hindia Belanda, sejatinya nenek moyang kita telah merekam tetumbuhan khas Nusantara secara terperinci bentuk fisik dan morfologinya pada relief-relief candi. "Kalau kita menuangkan seninya lewat kertas, nenek moyang kita lewat batu andesit. Tantangannya jadi lebih sulit. Jadi tidak boleh ada kesalahan di sana. Kalau salah arus dibongkar," ungkapnya.
Destario juga menambahkan bahwa kemunculanberbagai karya seni botani modern dengan sentuhan-sentuhan baru yang segar dan kreatif tentu berdampak sangat positif, terutama dalam dunia edukasi dan konservasi tumbuhan. Menurutnya, kebangkitan ini “menjadi penggugah minat dan pemantik antusiasme bagi generasi pelajar untuk lebih mudah memahami ilmu pengetahuan, khususnya botani.”
Salah satu tengara minat masyarakat pada seni botani Tanah Air adalah berdirinya Asosiasi Seniman Botani Indonesia (Indonesian Society for Botanical Artists, IDSBA) pada 2017. Perkembangan akses pendidikan dan ilmu pengetahuan telah mendorong semua pihak berbesar hati untuk menyatakan bahwa tidak ada lagi batas seni dan sains.
Di Indonesia , seni lukis botani masih cukup baru jika dibandingkan dengan negara maju. Bahkan, hingga kini, pendidikan mengenai seni botani belum diajarkan dalam pendidikan formal. Para seniman masih berjumlah sedikit, mereka belajar secara otodidak dan dilatih oleh para botaniawan yang menjadi atasannya.
Jenny A. Kartawinata, seniman botani dan Founder IDSBA, berbagi temuannya dalam proses seorang seniman botani berkarya. "Keakraban dengan tumbuhan merupakan pengalaman pribadi yang multidimensi, bagai sebuah kesempatan bermeditasi mengenal diri sendiri sebagai sesama makhluk penghuni bumi.”
Dia melanjutkan, “Karya seni botani, sebuah lukisan botani, menyajikan sebuah drama. Drama tentang tumbuhan di bumi ini—tumbuhan yang perlu kita kenal, akrabi, dan peduli akan keberlanjutan hidupnya.”
Baca Juga: Telusur Riwayat Perkembangan Seni Ilustrasi Botani di Indonesia
Baca Juga: Kelindan Seni dan Sains dalam Mukjizat Kebinekaan Flora Indonesia
Baca Juga: Pameran 'Kabar Bumi Setengah Windu': Seni yang Memihak Lingkungan
Baca Juga: Karya-karya Seni Ini Menampilkan Keindahan Botani dan Zoologi Bumi
Mengapa kita begitu terpukau dengan drama kehidupan tumbuhan? Jawabannya boleh jadi ringkas namun memerlukan pemahaman dan tindakan kita yang berdampak pada lingkungan sekitar, seperti ungkapan Jenny bahwa “keberlanjutan Bumi ini adalah tanggung jawab kita semua.”
Kita menghargai upaya para talenta negeri ini yang berkontribusi bukan hanya kepada seni, tetapi juga sains. Dua istilah ini belakangan memudar dalam keseharian kita. Kita pun merasakan seni menjadi kebutuhan emosional, yang mampu melatih kita dalam memahami emosi dan empati terhadap sesama dan lingkungan. Boleh dikata, seni adalah benteng kita satu-satunya ketika dilanda krisis budaya—dari intoleransi sampai aksi teror.
Ajaklah keluarga dalam apresiasi seni yang mendamaikan sanubari dan kematangan berpikir. Maestro seni rupa Pablo Picasso pun pernah berkata, “Seni senantiasa membasuh debu-debu yang melekat pada sanubari kita setiap hari.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR