Nationalgeographic.co.id—Menjadi perempuan Jawa sebelum abad ke-20 bukanlah hal yang mudah karena mereka dibatasi ruang geraknya. Apabila dari kalangan orang biasa, tindak tanduknya akan jadi perhatian.
Raden Ayu Matah Ati atau Raden Ajeng Kartini adalah pengecualian, mereka yang mendapat kesempatan dan mampu survive, hingga berhasil mencuat ke tampuk kepemimpinan.
"Raden Ayu Matah Ati sebagai panglima perang Prajurit Estri zaman Mangkunegara I, sampai dengan lahirnya emansipasi oleh perjuangan Raden Ajeng Kartini, menjadi rangkaian bukti bahwa karakter perempuan Jawa mengalami pemaknaan ulang," tulis Desy dan tim.
Desy Nurcahyanti menulis dengan tim risetnya, dalam jurnal Panggung berjudul "Mbok Mase" dan "Mbok Semok": Reinterpretasi Karakter Perempuan Jawa dalam Kultur Batik yang terbit pada 2021.
Stigma masyarakat di zaman itu hanya memandang perempuan di ruang gerak yang sempit. Dan tokoh emansipasi wanita itulah "yang akhirnya mengubah anggapan tentang struktur posisi kemampuan perempuan selain wilayah domestik: dapur, sumur, kasur," imbuhnya.
Menurut Desy, wilayah domestik perempuan Jawa kala itu dibatasi oleh tata aturan masyarakat pada ruang aktivitas seharihari rumah tangga. Perempuan Jawa hanya lekat dengan kegiatan mengasuh anak, memasak, membersihkan dan menata rumah, berdandan, serta melayani suami.
Hak dalam menyuarakan aspirasi diri pun turut dibatasi. "Suara mereka dibatasi, terlebih kesempatan menyampaikan pendapat dan bersosialisasi di masyarakat luas adalah tabu," terusnya.
Hanya para perempuan yang berkedudukan tinggi atau dari kalangan terhormat seperti golongan bangsawan atau aristokrat kerajaan yang punya hak bersuara dan berpendapat. Selebihnya, hanya akan dipandang sebelah mata.
Sisi lainnya dari stigma di masyarakat adalah sebuah aib jika seorang perempuan Jawa menyukai laki-laki dari status lebih rendah. Begitupun juga hal yang berlaku sebaliknya.
"Jika ada laki-laki dari keluarga terhormat atau memiliki jabatan tinggi menghendaki perempuan berstatus lebih rendah (tidak sejajar) menjadi istrinya, meski sang perempuan bahkan keluarga tidak menyukai, mereka harus menurut (pasrah) karena penolakan adalah musibah," ungkapnya.
Laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi atau pejabat terkadang memanfaatkan kesempatan untuk memperistri anak gadis yang mereka sukai dengan cara memberi pinjaman (hutang) dalam jumlah tertentu.
Bagi pihak keluarga sang perempuan yang berhutang, mereka berharap hutangnya dilunasi dengan menyerahkan anak gadis sebagai pelunas. Meskipun, para pejabat atau laki-laki kaya tersebut telah beristri.
Kejinya, terkadang sang perempuan yang ditaksirnya dan diberikannya sejumlah uang atau pihutang, telah bersuami. Itu berarti, sang suami pun harus rela direnggut istrinya jika tak mampu melunasi hutangnya.
Baca Juga: Bernaung di Bawah Atap Joglo: Hunian Para Priayi Aristokrat Jawa
Baca Juga: Edukasi Seksual dari Tradisi Pergowokan di Jawa Awal Abad ke-20
Baca Juga: Melongok Taman Sriwedari Sebagai Hiburan Jawa Zaman Hindia Belanda
Masyarakat Jawa kala itu masih tunduk terhadap titah raja dan pemimpin, sehingga menyerahkan perempuan bersuami yang dikersakke (diinginkan) pada pejabat tinggi merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan.
Perempuan yang telah diperistri tersebut tidak semua menjadi istri sah, mayoritas harus pasrah berstatus garwo ampeyan atau garwo ampil atau selir. Perbedaan status tersebut terkait dengan pembagian harta kekayaan dan warisan bagi anak keturunan.
Beruntungnya, memasuki abad ke-20 sudah mulai muncul para perempuan yang mulai aktif dalam panggung pergerakan, mendorong terciptanya emansipasi perempuan. Dari sinilah, tabir kehidupan mereka berubah sebagaimana yang kita alami hari ini.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | jurnal Panggung |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR