Bagi pihak keluarga sang perempuan yang berhutang, mereka berharap hutangnya dilunasi dengan menyerahkan anak gadis sebagai pelunas. Meskipun, para pejabat atau laki-laki kaya tersebut telah beristri.
Kejinya, terkadang sang perempuan yang ditaksirnya dan diberikannya sejumlah uang atau pihutang, telah bersuami. Itu berarti, sang suami pun harus rela direnggut istrinya jika tak mampu melunasi hutangnya.
Baca Juga: Bernaung di Bawah Atap Joglo: Hunian Para Priayi Aristokrat Jawa
Baca Juga: Edukasi Seksual dari Tradisi Pergowokan di Jawa Awal Abad ke-20
Baca Juga: Melongok Taman Sriwedari Sebagai Hiburan Jawa Zaman Hindia Belanda
Masyarakat Jawa kala itu masih tunduk terhadap titah raja dan pemimpin, sehingga menyerahkan perempuan bersuami yang dikersakke (diinginkan) pada pejabat tinggi merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan.
Perempuan yang telah diperistri tersebut tidak semua menjadi istri sah, mayoritas harus pasrah berstatus garwo ampeyan atau garwo ampil atau selir. Perbedaan status tersebut terkait dengan pembagian harta kekayaan dan warisan bagi anak keturunan.
Beruntungnya, memasuki abad ke-20 sudah mulai muncul para perempuan yang mulai aktif dalam panggung pergerakan, mendorong terciptanya emansipasi perempuan. Dari sinilah, tabir kehidupan mereka berubah sebagaimana yang kita alami hari ini.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | jurnal Panggung |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR