Nationalgeographic.co.id—Raden Ayu Matah Hati atau dalam beberapa literatur disebut Matah Ati (Patahati), menjadi salah satu figur keperkasaan perempuan Jawa sebelum abad ke-20. Padahal di zaman itu, perempuan Jawa dipandang sebelah mata.
Roro Rubiyah merupakan nama kecil dari Raden Ayu Matah Ati. Ia Berasal dari Dusun Matah di sekitar Gunung Wijil, Klaten. Perkasanya, dalam beberapa catatan sejarah, ia disebut-sebut masuk dalam barisan perang Mangkunegara I.
Desy Nurcahyanti menulis dengan tim risetnya, dalam jurnal Panggung berjudul "Mbok Mase" dan "Mbok Semok": Reinterpretasi Karakter Perempuan Jawa dalam Kultur Batik yang terbit pada 2021.
Dalam jurnalnya, ia menyebut bahwa Kisah keperkasaan prajurit perempuan dari Mangkunagaran itu ditulis dalam Babad Nitik Mangkunagara. Sebuah babad yang mengisahkan buku catatan harian Matah Ati.
"Babad tersebut mengisahkan kemampuan para prajurit perempuan bahkan lebih baik dari laki-laki," imbuh Desy dan tim risetnya.
Mereka lebih teliti dan luwes. Ia berperan penting dalam pendirian Kadipaten Mangkunegaran, membantu gerilya Raden Mas Said yang pada akhirnya bertakhta dengan gelar kehormatan, Mangkunagara I.
Kisah kehebatannya menginspirasi Atilah Soeryadjaya, cucu dari Mangkunagara VII untuk membuat sendratari yang menggambarkan keperkasaan pasukan estri Mangkunegaran itu, berjudul Matah Ati.
Tarian yang melibatkan penari berjumlah ratusan orang tersebut dipentaskan pada tahun 2010-2015 di beberapa negara dan tempat, seperti Singapura, Malaysia, Taman Ismail Marzuki, dan teristimewa di halaman depan Pura (kerajaan) Mangkunagaran.
Sejak pertemuannya dengan Raden Mas Said, Roro Rubiyah dikenal karena kecantikannya yang memancarkan cahaya keindahan. Sejak itu, Raden Mas Said menandainya lewat kain yang dikenakannya.
Baca Juga: Societeit Mangkunegaran Melintang Zaman: Sejarah Monumen Pers Nasional
Source | : | jurnal Panggung |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR