Nationalgeographic.co.id - Revolusi industri membawa inovasi besar-besaran bagi kehidupan manusia. Selama periode ini, terjadi banyak perubahan di bidang pertanian, manufaktur, hingga teknologi. Tak ayal, perubahan ini turut berdampak pada ekonomi, sosial, dan budaya. Namun tidak semua orang menikmati manisnya Revolusi Industri ini. Misalnya para gadis korek api di London yang bekerja 14 jam sehari sambil menghirup gas fosfor beracun yang mematikan. Kisah pilu para gadis korek api yang rahangnya busuk karena uap fosfor ini menggugah aktivis HAM.
Pabrik korek api di London
Pada tahun 1860-an ada beberapa perusahaan pembuat korek api di London timur, Bryant and May termasuk di antara tiga yang terbesar.
Dalam proses produksinya, Bryant and May menggunakan banyak tenaga buruh. Pria dan anak laki-laki melakukan proses pencampuran, pencelupan, dan pengeringan. Sementara wanita dan anak perempuan mengeluarkan korek api dari bingkai dan menempatkannya di dalam kotak. Mayoritas buruh pabrik adalah wanita dan anak perempuan (14 tahun). Pabrik juga menggunakan buruh rumahan untuk membuat kotak korek api.
Pada tahun 1880 Bryant and May telah menjadi salah satu produsen korek api terbesar yang menggunakan fosfor putih beracun. Perusahaan ini juga mengadopsi mesin baru dan mengambil alih perusahaan saingannya yang lebih kecil.
Memiliki kekuasaan besar, Bryant and May mampu memaksa buruh untuk bekerja dengan upah kecil. “Mereka bahkan menurunkan upah buruh-buruh yang bekerja selama 14 jam sehari itu,” tutur Iawal Moshood di laman History of Yesterday. Berkat monopoli, Bryant and May bahkan membayar upah lebih rendah daripada 12 tahun sebelumnya.
Uap beracun yang mematikan dari fosfor putih pada korek api
Ujung korek api terbuat dari fosfor putih agar dapat menyala dengan baik. Uap yang dikeluarkan oleh senyawa ini sangat beracun dan mematikan bagi pekerjanya. Efeknya, sebagian besar gadis-gadis buruh itu menunjukkan gejala aneh yang disebut rahang Phossy.
Gejala utama yang tampak jelas adalah tulang rahang mulai membusuk, mengeluarkan bau yang tidak sedap. Ini menyebabkan cacat pada wajah dan rasa sakit yang tidak tertahankan.
Rumah sakit di wilayah tersebut mencatat tingginya korban industri korek api. Saat itu, tidak ada pengobatan pasti selain mencabut rahang sebelum efeknya menyebar ke otak dan menyebabkan kerusakan lebih lanjut.
Baca Juga: Gerakan Chicano 1968: Suara Siswa Menuntut Kesetaraan Pendidikan
Baca Juga: Setangkai Payung Zaman VOC, Tudung Cerita Orang Eropa dan Budaknya
Baca Juga: Histori Kengerian Imbas dari Laut Jepang yang Tercemar Merkuri
Bahkan dengan mencabut rahang, dokter memperkirakan bahwa efek jangka panjang dari uap akan memperpendek umur gadis-gadis itu.
Desakan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman untuk buruh
Korban bertambah. Ada desakan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi para buruh. Salah satunya adalah bagaimana menghilangkan uap yang mematikan. Namun lagi-lagi, orang miskin selalu menjadi korban.
Di era industri saat itu, orang kaya menganggap orang miskin sebagai materi dan pemerintah pun menutup mata.
Sebagian besar gadis-gadis ini hidup dalam kemiskinan dan menjadi tulang punggung keluarga. Maka, mereka tidak punya pilihan selain tetap bekerja di lingkungan pabrik yang berbahaya. Selain itu, pasar tenaga kerja pun sangat kompetitif. Jadi, mereka lebih memilih bekerja alih-alih bergabung dengan para pengangguran.
Selain upah rendah, gadis-gadis ini sering didenda karena datang terlambat, membuang-buang bahan mentah, dan pelanggaran kecil lainnya.
Aksi mogok para gadis korek api
Annie Besant, membawa perubahan pada gadis-gadis buruh korek api dalam artikelnya "White Slavery in London". Ia mengungkap kondisi kerja yang mengerikan para gadis korek api. Artikel Annie Besant menjadi viral dan mendapat perhatian dari pemerintah, media, dan aktivis HAM.
Pengusaha yang takut kehilangan bisnis memutuskan untuk mengambil langkah. Mereka menyerahkan kertas perjanjian kepada para buruh. Mereka diminta untuk menandatangani surat pernyataan bahwa mereka bekerja dalam kondisi terbaik. Juga, upah tidak pernah dipotong atau ditunda.
Di luar dugaan, para gadis itu menolak untuk menandatanganinya. Salah satu pekerja yang diketahui membocorkan informasi kepada Annie pun dipecat. Tidak hanya itu, ada lebih dari 1.000 pekerja membanjiri jalan-jalan London untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Semua tuntutan mereka dipenuhi tetapi racun fosfor putih terus merusak kehidupan para pekerja ini selama dua dekade.
Aksi mogok para gadis korek api pun membuahkan hasil. Pemerintah Inggris kemudian melarang penggunaan fosfor putih dalam produksi korek api. Mereka menetapkan pajak dan sangsi untuk hal ini. Maka penyakit rahang phossy perlahan berakhir.
Belajar dari kasus gadis korek api, serikat buruh pun dibentuk untuk melindungi dan meningkatkan taraf hidup pekerja.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR