Nationalgeographic.co.id—Tak ubahnya pandemi yang pernah terjadi dalam sejarah, hal itu membawa ke dalam norma-norma kehidupan yang baru. Seperti halnya pagebluk atau pandemi di tahun 1918, menciptakan pola-pola penyesuaian baru setelahnya.
Setelah berabad-abad lamanya berlalu, Indonesia juga kembali mengalami pandemi. Sebuah fenomena langka yang terjadi di abad ke-21 yang patut dicatat sejarah, di kemudian hari.
Hal ini menggerakkan penulis untuk turut terlibat dalam pusaran pola-pola adaptif pasca-pandemi, utamanya dalam dunia pendidikan. Penerapan pola-pola kebiasaan baru telah diupayakan guna membangun kembali tatanan pendidikan yang sesuai dengan tujuannya.
Berupaya bangkit dari pandemi yang menerjang sepanjang tahun 2020 hingga 2022, sekolah mendapati tantangan baru. Mereka berhadapan dengan para siswa yang telah dibuat nyaman dengan kondisi pandemi—sedikit banyak mengarah ke hal negatif.
Ada upaya-upaya yang kemudian lahir untuk mendorong para siswa agar kembali ke jalan kebaikannya. Sekolah-sekolah dengan problematikanya mulai mengarahkan siswa agar mau mematuhi peraturan agar tercapai tujuan yang dicanangkan.
Misi mengusung kepribadian siswa yang berkarakter, jadi upaya yang digalakkan sekolah. Namun di sisi lain, terdapat fenomena menarik di mana siswa mulai melakoni penyesuaian diri terhadap lingkungan barunya pasca-pandemi.
Aktifitas yang berbeda tengah mereka hadapi, mau tak mau membuat mereka harus menghadapi itu. Tak jarang, ditemukan letupan ekspresi yang terluapkan dalam sebuah "coretan-coretan".
Barangkali, lewat sebuah coretan, para siswa bisa mengekspresikan keresahannya. Seperti hal yang ditemui penulis di salah satu Sekolah Menengah Atas swasta di kota Surakarta.
Terdapat banyak rupa coretan yang berisi berbagai tulisan, mulai dari guyonan, kata-kata bijak, romansa remaja, hingga keluh kesahnya. Mereka terbiasa mendapat banyak referensi "konten" dan "kata-kata" dari sosial media yang agaknya relate dengan yang mereka hadapi hari ini.
Ada hal menarik yang penulis tangkap dari berbagai hal yang menggambarkan ekspresi siswa "pasca-pandemi", tentang keluh kesah mereka. Sebagian besar, keluh kesah dapat berarti penyesuaian diri bagi siswa yang umumnya terbiasa sekolah sambil rebahan selama pembelajaran daring (online).
Beberapa tulisan dianggap para guru tak bertenaga, karena hanya berisi gerutu siswa yang "belum siap" dengan pola-pola kebiasaan baru di sekolah. Namun, ada pula tulisan yang menggambarkan masalah serius yang dihadapi siswa. Tugas sekolah! Tugas sekolah dianggapnya "beban kehidupan."
Beberapa coretan tentang tugas sekolah perlu menjadi perhatian. Dengan humor bernada sarkas, salah satu tulisan "abot uripmu, luwih abot tugasku (berat hidupmu, lebih berat tugasku)" mengandung perasaan mendalam.
Guru memang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan tugas sebagai bentuk penilaian sekaligus penanaman nilai. Namun, barangkali, tugas yang diberikan terlalu membebani dan menyulitkan siswa, hingga beberapa siswa jatuh sakit karena beban pikiran yang ditanggungnya.
Bertumpuk tugas dengan batas akhir pengumpulan yang tumpang tindih membuat siswa kewalahan. Di sinilah, pendidikan humanis memainkan perannya. Emilda Sulasmi, seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, menerbitkan buku berjudul Pendidikan Humanis dalam Pengelolaan Pendidikan di Indonesia (2011).
Dikatakan dalam bukunya: "pendidikan humanis ingin menjadikannya manusia yang merdeka, bebas, dan saling menghargai dengan menjunjung tinggi martabatnya oleh manusia lain." Sudah sewajarnya pendidikan humanis bertujuan untuk memanusiakan manusia.
Melalui coretan, siswa berupaya mengekspresikan keresahan dan keluh kesahnya. Dalam pendidkan humanis, "sebagai pendidik sejati, sudah sepatutnya juga berupaya untuk mendengar dan memahami keresahan siswa," imbuhnya.
Bagaimanapun, guru sebagai pendidik perlu mengedepankan asas humanis sebagai pejuang kemanusiaan. Meski di sisi lain, guru tetap mengarahkan siswa pada norma-norma kebajikan.
Ada upaya dalam penanaman nilai yang membangun kepribadian siswa dan pembentukan karakter yang kuat dalam dirinya.
Melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan guru pula, para siswa dapat menggapai cita-citanya. Hal tersebut dapat dimulai dari guru yang mencoba untuk dekat dan mau mendengarkan kebutuhan pembelajarnya—siswanya.
Dari sana, guru dapat mengupayakan pendidikan yang dinamis dan humanis. Maka, bukan tidak mungkin sekolah dapat mengembalikan motivasi dan semangat diri siswanya untuk giat belajar setelah pandemi.
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR