Nationalgeographic.co.id—Penggunaan gas air mata di Stadion Kanjuruhan, Malang, telah menimbulkan perdebatan. Pasalnya, gas air mata ini telah menyebabkan ribuan penonton bola panik dan berdesak-desakan menuju pintu keluar. Akibatnya, sampai berita ini diterbitkan, setidaknya 131 orang tewas dan ratusan orang lainnya luka-luka akibat kericuhan yang terjadi pada Sabtu malam lalu.
Publik sepak bola dunia turut berduka atas Tragedi Kanjuruhan yang terjadi usai pertandingan antara Arema dan Persebaya itu. Banyak orang menyayangkan penembakan gas air mata di stadion. Padahal, FIFA, badan pengatur sepak bola dunia, telah melarang penggunaannya di dalam stadion.
Faktanya, penggunaan gas air mata telah menjadi semakin umum selama beberapa dekade terakhir. Lembaga penegak hukum atau kepolisian di banyak negara, termasuk di Indonesia, menggunakannya untuk mengendalikan kerusuhan dan membubarkan massa.
Gas air mata sendiri kerap disebut juga sebagai agen pengendalian huru-hara atau agen pengendali kerusuhan atau gas pengendali massa. Ini adalah kumpulan bahan kimia yang menyebabkan iritasi kulit, pernapasan, dan mata. Biasanya digunakan dari tabung, granat, atau semprotan bertekanan.
Terlepas dari namanya, gas air mata bukanlah gas. Ini adalah bubuk bertekanan yang menciptakan kabut saat digunakan. Bentuk gas air mata yang paling umum digunakan adalah 2-chlorobenzalmalononitrile (gas CS). Jenis gas air mata lainnya yang umum termasuk oleoresin capsicum (semprot merica), dibenzoxazepine (gas CR), dan chloroacetophenone (gas CN).
Di Amerika Serikat, apa yang kita sebut "gas air mata" sering kali adalah gas CS, senyawa kimia yang dikreditkan ke dua ilmuwan Amerika, Ben Corson dan Roger Stoughton, yang menemukannya pada tahun 1928. C dan S dalam "CS" berasal dari inisial pertama dari nama belakang masing-masing orang tersebut.
Namun, penggunaan gas air mata sebenarnya sudah ada sebelum itu, yakni di medan perang Perang Dunia I. Dari situlah benda ini kemudian bermigrasi dan tidak lama kemudian masuk dan dipakai pasukan polisi Amerika. Dan penggunaannya tetap ada sejak itu.
Gas air mata masih terus digunakan sebagian besar karena senjata ini sangat efektif dalam memecah kerumunan. Gas air mata membubarkan kerumunan dan dapat mengubah “kumpulan pendemo menjadi massa yang berteriak,” ujar Anna Feigenbaum, seorang profesor di Bournemouth University di Inggris, seperti dikutip dari Vox.
"Karena ini (gas air mata) biasanya tidak meninggalkan darah, tidak ada jejak,' ucap Feigenbaum yang juga penulis buku Tear Gas: From the Battlefields of World War I to the Streets of Today.
Kembali ke masa Perang Dunia I, pada Agustus 1914 pasukan Prancis menembakkan granat gas air mata ke parit Jerman di sepanjang perbatasan antara kedua negara. Rincian yang tepat dari peluncuran gas air mata pertama ini tidak jelas, tapi para sejarawan menandai Pertempuran Perbatasan (Battle of the Frontiers) itu, yang juga kemudian dikenal sebagai bentrokan pertama Perang Dunia I antara Prancis dan Jerman, sebagai hari lahir dari apa yang akan menjadi gas air mata modern.
Baca Juga: Dilarang Digunakan di Stadion, Gas Air Mata Bisa Sebabkan Kematian?
Baca Juga: Sejarah Gas Air Mata, Pertama Kali Digunakan dalam Perang 1914
Source | : | Vox,Healthline,The Atlantic |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR