Nationalgeographic.co.id – Chatbot adalah program buatan berbasis Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang mampu mensimulasikan percakapan atau obrolan layaknya manusia. Itu lah mengapa istilah ini disebut juga dengan 'bot' karena merupakan singkatan dari robot internet.
Seperti yang telah kita tahu, hampir semua orang di belahan bumi Barat, menavigasi internet dengan cara mengobrol dengan asisten virtual. Akan tetapi istilah asisten akan segera menjadi terlalu impersonal. Alexa, Siri, dan lainnya akan melewati batas dari robot impersonal ke entitas yang mengetahui kebiasaan, rutinitas, hobi, dan minat kita serta, jika tidak lebih baik dari, teman dan kerabat terdekat kita. Terlebih lagi, mereka akan selalu bersama Anda dan ada untuk Anda, dengan satu sentuhan tombol.
Bagi perusahaan, ini adalah formula kemenangan. Pengguna smartphone telah membuktikan bahwa mereka hanya mau mengunduh dan menghabiskan waktu di sejumlah aplikasi yang terbatas. Dengan demikian, bisnis mungkin lebih baik mencoba terhubung dengan konsumen di aplikasi tempat mereka menghabiskan banyak waktu.
Bot berpotensi memberikan kenyamanan yang lebih besar daripada aplikasi dan penelusuran web karena bot dapat memahami pola ucapan alami dan memberikan sentuhan pribadi dalam antarmuka pengguna yang tidak bersifat pribadi.
Apakah kita benar-benar terhubung dengan chatbot?
Proses semacam itu memiliki konsekuensi psikologis yang mendalam. Saat berinteraksi dengan chatbot, otak kita dituntun untuk percaya bahwa ia sedang mengobrol dengan manusia lain. Ini terjadi karena bot menciptakan persepsi mental yang salah tentang interaksi, mendorong pengguna untuk menganggap bot fitur mirip manusia lainnya yang tidak mereka miliki. Ini mungkin tampak asing, tetapi atribusi karakteristik manusia pada hewan, peristiwa, atau bahkan objek ini adalah kecenderungan alami yang dikenal sebagai antropomorfisme yang telah ada sejak zaman kuno.
Komputer selalu menjadi target favorit untuk atribusi antropomorfik semacam itu. Mereka tidak pernah dianggap sebagai mesin belaka atau hanya hasil interaksi antara perangkat keras dan perangkat lunak. Bagaimanapun, komputer memiliki memori dan berbicara bahasa; mereka dapat tertular virus dan bertindak secara mandiri.
Baca Juga: Dari Siri Hingga Alexa, Ini Sisi Gelap dari Teknologi Asisten Pribadi
Baca Juga: AI Bisa Jadi Editor Konten Informasi Jitu tetapi Masih Butuh Manusia
Baca Juga: Ketika Kecerdasan Buatan Menjadi Penemu, Lantas Bagaimana Patennya?
Dalam beberapa tahun terakhir, elemen karakteristik pribadi semakin diperkuat dalam upaya menghadirkan benda-benda mati ini sebagai sesuatu yang hangat dan humanoid.
Namun, peningkatan humanisasi chatbot dapat memicu perubahan paradigma penting dalam bentuk interaksi manusia. Ini datang dengan risiko dan hasilnya mungkin apa pun kecuali lembut dan kabur.
Pengaruh Negatif pada Cara Kita Berinteraksi dengan Orang Lain
Sebagai manusia, otak kita memiliki kecenderungan yang melekat untuk lebih memilih penyederhanaan daripada kompleksitas. Interaksi komputer sangat cocok dengan ini. Didirikan pada premis isyarat sosial minimal atau dibatasi, yang sebagian besar dapat diringkas dalam emotikon, tidak memerlukan banyak upaya kognitif.
Chatbot tidak memerlukan keterlibatan emosional dan interpretasi isyarat nonverbal yang dibutuhkan oleh manusia, sehingga membuat interaksi kita dengannya menjadi lebih mudah. Ini sejalan dengan kecenderungan otak kita terhadap kemalasan kognitif. Interaksi berulang dengan chatbots memicu pembangunan model mental baru yang akan menginformasikan interaksi ini. Ini akan dialami sebagai keadaan pikiran yang berbeda dari mana kita menafsirkan interaksi sosial.
Peningkatan humanisasi chatbot mungkin memicu perubahan paradigma penting dalam bentuk interaksi manusia. Ketika seorang manusia berinteraksi dengan manusia lain misalnya dengan seorang teman kita didorong oleh keinginan untuk mengambil bagian dalam aktivitas bersama.
Komunikasi dengan bot berbeda. Kepuasan berasal dari perubahan kondisi mental dan keterpisahan. Anda dapat mencapai tujuan (mendapatkan bantuan, informasi, bahkan perasaan persahabatan) tanpa 'biaya' langsung. Tidak diperlukan investasi, tidak perlu bersikap baik, tersenyum, terlibat, atau mempertimbangkan secara emosional.
Mungkin kedengarannya nyaman, tetapi masalah bisa muncul jika kita terbiasa dengan bentuk interaksi bot ini dan perlahan-lahan mulai mengembangkan preferensi untuk 'komunikasi yang mudah.'
Source | : | pschology today |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR