Nationalgeographic.co.id—Budaya populer dapat memberikan kita pandangan tentang beragam hal, seperti peristiwa bersejarah, orang, dan peradaban. Namun sering kali, fakta-fakta yang disajikan telah disederhanakan, distereotipkan, atau “didaur ulang” untuk memberikan hiburan. Seringkali, tindakan tersebut justru menyembunyikan kebenaran atau fakta yang sebenarnya. Misalnya tentang Romawi kuno. Banyak film dengan latar belakang Romawi kuno yang memberikan informasi yang salah tentang kehidupan di zaman itu. Berikut fakta-fakta menyesatkan tentang Romawi kuno versi budaya populer.
Wanita Romawi kerap mengenakan pakaian terbuka
Di film-film, wanita Romawi tampil dengan mengenakan pakaian yang memamerkan kulit serta belahan dada. Pakaian terbuka mungkin dikenakan untuk menekankan daya tarik dan sensualitas.
Mengapa tidak akurat? Wanita di dunia Romawi cenderung menunjukkan kulit sesedikit mungkin ketika meninggalkan rumah. Wanita yang sudah menikah menunjukkan kesopanan mereka dengan pakaian berlapis. “Selain kesopanan, pakaian berlapis juga mencerminkan kekayaan penggunanya,” ungkap Melissa Sartore di laman Ranker.
Pakaian umumnya lebih berwarna dan memiliki hiasan rumit tergantung pada kekayaan wanita itu.
Semua orang selalu mengenakan toga
Benarkah toga menjadi pakaian pilihan di seluruh wilayah Romawi kuno dan dikenakan di depan umum oleh semua orang?
Toga secara eksklusif dikenakan oleh laki-laki, diwajibkan pada pertemuan publik sebagai cara untuk mengakui kewarganegaraan.
Tidak seperti yang ditayangkan di film-film berlatar Romawi kuno, tunik sederhana lebih lazim dikenakan oleh masyarakat Romawi. Orang bebas, pelayan, dan budak semuanya mengenakan tunik. Bahkan karena kerumitan toga, bahkan hakim semakin jarang memakainya seiring dengan berjalannya waktu selama periode kekaisaran.
Kapal didayung oleh para budak
Di film-film Romawi, narapidana dan budak dipaksa untuk mendayung kapal. Tidak jarang, mereka dirantai dan dicambuk setiap melakukan kesalahan.
Informasi menyesatkan ini dipopulerkan pada tahun 1959 oleh film Ben-Hur. Mmenurut para ahli, hanya ada sedikit bukti yang mendukung informasi itu. Seperti yang ditulis sejarawan Alex von Tunzelmann, “Sebagian besar kapal Romawi membutuhkan pendayung yang terampil.”
Tunzelmann menambahkan bahwa Jenderal Sextus Pompey dan Kaisar Augustus menggunakan mantan budak untuk mendayung kapal. “Tetapi orang-orang ini dibebaskan terlebih dahulu, kemudian mengambil pekerjaan itu karena pilihan,” tambahnya lagi.
Benarkah patung marmer Romawi tidak memiliki warna?
Faktanya, orang Romawi, seperti orang Yunani kuno, Mesir, dan Mesopotamia, menambahkan cat cerah ke dinding marmer dan patung. Patung dibuat untuk menciptakan representasi manusia atau dewa yang hidup. Maka dibuat semirip mungkin dengan manusia, termasuk dalam hal warna.
Ketika banyak artefak Romawi ditemukan kembali selama Renaisans, artefak itu sudah kehilangan warnanya. Seniman Renaisans menciptakan kembali tampilan patung marmer yang murni dan alami. “Karya seniman Renaisans inilah yang mengabadikan gagasan putih artistik karya seni Romawi,” tambah Sartore.
Selama abad ke-18, para sarjana seperti Johann Joachim Winckelmann, menghubungkan gaya artistik Romawi kuno dengan rasa keindahan. Menurutnya, warna harus menjadi bagian kecil dari keindahan karena strukturlah yang membentuk esensinya.
Menyingkirkan sisa-sisa cat yang tersisa, Winckelmann menciptakan asumsi umum tentang karya seni Romawi yang berwarna putih.
Para peneliti kemudian menggunakan teknologi ultraviolet dan inframerah untuk mengamati beberapa karya seni. Mereka menentukan bahwa karya seni Romawi dilukis dengan bakat polikromatik yang rumit.
Orang Romawi berbicara dengan bahasa yang sama
Pernyataan tersebut tidak akurat. Film akan menyajikan tentang Romawi Kuno dalam bahasa yang dapat dipahami penonton.
Latin adalah bahasa administratif di kekaisaran, digunakan oleh pejabat pemerintah. Selain itu juga dimasukkan ke dalam terminologi militer untuk pemahaman keseluruhan. Konon, bahasa Latin bukanlah bahasa asli sebagian besar penduduk Kekaisaran Romawi.
Ketika Romawi memperluas pengaruhnya ke seluruh Eropa, Mediterania timur dan Afrika Utara, mereka berhubungan dengan banyak bahasa asli. Dialek bahasa Latin yang berbeda terbentuk dari waktu ke waktu. Demikian pula, bahasa Latin memengaruhi bahasa asli yang ada di wilayah taklukan Romawi.
Salah kaprah tentang gladiator selalu bertarung sampai mati
Gladiator adalah atlet terlatih dan komoditas berharga. Gladiator dikelola oleh lanistae, pria yang menginvestasikan banyak uang untuk gladiator mereka.
Karena itu agar tidak rugi, penting untuk menjaga gladiator tetap hidup agar dapat terus bertarung. Meski tidak sampai mati, kebanyakan pertarungan gladiator berakhir dengan luka serius.
Kata-kata terakhir Julius Caesar adalah "Et tu, Brute?"
Saat Julius Caesar diserang oleh rekan-rekan senatornya, pukulan terakhir dilakukan oleh sahabatnya, Brutus. Berada di ambang kematian, Caesar mengungkapkan keterkejutan dan kesedihan dalam frasa Latin, “Et tu, Brute?” Ini diterjemahkan menjadi “Bahkan kamu, Brutus?”
Faktanya, kata-kata terakhir Caesar kerap menjadi bahan perdebatan, bahkan di antara sumber-sumber paling kuno. Dalam bukunya Lives, Plutarch melaporkan bahwa Caesar tidak mengatakan apa-apa sama sekali.
Dalam The Twelve Caesars, Suetonius mengatakan para sejarawan berbeda pendapat tentang kata-kata terakhir Caesar.
Benarkah semua orang Romawi berkulit putih?
Pada satu titik, Kekaisaran Romawi membentang di seluruh Laut Mediterania, dan barat dari Lembah Danube ke Inggris. Sejumlah besar kelompok di bawah otoritas Romawi beragam dalam etnis dan penampilan.
Budaya populer menggambarkan populasi Kota Roma kuno dengan kulit putih. Namun bukti arkeologis, sejarah, dan DNA menunjukkan kota itu merupakan wadah peleburan budaya.
Pada 2019, para peneliti menerbitkan sebuah studi yang menganalisis sisa-sisa dari 29 situs di dalam dan sekitar Roma. Menurut bukti DNA, migrasi skala besar ke kota menghasilkan keragaman genetik yang "luar biasa" hingga 300 Masehi.
Semua arsitektur Romawi dibangun dari marmer murni.
Fakta versi budaya populer ini jelas tidak akurat. Kaisar Augustus dikenal dengan pernyataannya, “Saya menemukan Roma saat semuanya terbuat dari batu bata dan meninggalkannya dengan segala sesuatu yang terbuat dari marmer.”
Menurut sejarawan arsitektur Diane Favro, sesumbar legendaris Augustus mungkin berlebihan. Marmer digunakan sebagai fasad atau bagian terluar dari bangunan. Sedangkan bahan yang lebih murah dan lebih ringan digunakan untuk struktur utama. Bahkan, sebagian besar bangunan Romawi terbuat dari batu bata, kayu, atau beton.
Ini menjelaskan mengapa Kebarakaran Besar Roma saat pemerintahan Nero menimbulkan begitu banyak kerusakan. Warga kehilangan rumah yang dibangun dengan buruk serta berbingkai kayu. Ini menjadi “bahan bakar” bagi api.
Lebih lanjut, Favro berpendapat bahwa Augustus membuat poin tentang politik alih-alih infrastruktur. “Ini sebagai metafora baginya untuk mengubah republik menjadi sebuah kekaisaran,” jelasnya.
Orang Romawi gemar berpesta pora
Perayaan Romawi, terutama perayaan keagamaan, akhirnya berakhir dengan pesta pora mabuk-mabukan dan penuh nafsu. Penyimpangan seksual dan pesta pora tidak mengenal batas pun mudah ditemukan di pesta pora Romawi, versi budaya populer tentunya.
Mitos pesta pora Romawi muncul berkat spekulasi para penulis kuno dan imajinasi yang terlalu tinggi selama berabad-abad.
Selama abad ke-2 Sebelum Masehi, penyembahan Dionysus, yang disebut Bacchus oleh orang Romawi, melibatkan serangkaian ritual misterius. Ritual itu dilakukan dengan anggur, makanan, dan kelompok besar pria dan wanita muda. Setelah laporan dari Senat Romawi memicu penganiayaan terhadap kultus dan anggotanya, perayaan Bacchus mundur ke bawah tanah.
Baca Juga: Dari Jerawat sampai Jenggot, Kiat Kaisar Romawi Menjaga Kebersihan
Baca Juga: Pesta Pernikahan Romawi Kuno, Wajib Kurban Babi Untuk Para Dewa
Baca Juga: Betapa Keras dan Istimewanya Gladiatrix, Gladiator Wanita Romawi Kuno
Sejarawan Romawi Livy menulis tentang Bacchus sebagai ancaman bagi keberadaan Romawi. Karya Livy memang mencerminkan alat propaganda yang digunakan di dunia Romawi.
Melempar tuduhan ketidakwajaran seksual biasanya digunakan terhadap kaisar dan politisi untuk menghancurkan citra mereka. Misalnya, Suetonius menuduh Kaisar Caligula melakukan inses dan membuka rumah bordil di istananya.
Budaya populer bukan satu-satunya yang memberikan informasi yang menyesatkan tentang Romawi kuno. Bahkan sejarawan kuno pun kerap menuliskan informasi yang salah untuk menjelekkan pesaing atau musuhnya.
Source | : | Ranker.com |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR