Baca Juga: Saat Pulau Run di Maluku Ditukar dengan Manhattan di Amerika
Marsters dikatakan telah melihat pulau itu tiga tahun sebelumnya saat bekerja di kapal penangkap paus. Dia begitu terpesona oleh keindahannya sehingga dia memutuskan untuk menetap di sana secara permanen. Pada tahun 1863, pulau itu milik seorang pedagang Inggris bernama John Brander dan Marsters dipekerjakan untuk bekerja sebagai penjaga pulau itu.
Ancient Origins mencatat bahwa Marsters lahir di Leicester sekitar tahun 1831 dan pernah menjadi buruh atau tukang kayu dan pembuat tong sebelum pergi ke Pulau Palmerston. Ketika Marsters menginjakkan kaki di pulau itu, dia membawa serta ketiga istrinya.
Salah satunya adalah Akakaingaro (dikenal sebagai Sarah), putri seorang kepala Kepulauan Cook, sedangkan dua lainnya adalah sepupunya. Saat ini, ada tiga keluarga yang tinggal di Pulau Palmerston, masing-masing merupakan keturunan dari salah satu dari tiga istri Marsters.
Saat Marsters pertama kali mendarat di Pulau Palmerston, pulau itu tidak berpenghuni, jadi dia harus membangun semuanya dari awal. Menggunakan kayu karam kapal dan kayu apung, Marsters membangun rumah untuk keluarganya, yang masih berdiri sampai sekarang, meski sekarang digunakan untuk gudang dan tempat berlindung dari angin topan.
Belakangan, sebuah gereja, sekolah, dan lebih banyak rumah dibangun. Sebagai penjaga pulau, Marsters bertugas menanam, merawat, dan memanen pohon kelapa. Setiap enam bulan, Brander akan mengirim kapal ke pulau itu dengan perbekalan dan makanan. Sebagai imbalannya Marsters akan memberikan minyak kelapa kepada pedagang itu.
Pertarungan untuk Pulau Palmerston
Pada tahun 1888, Brander meninggal dan Marsters mengeklaim Pulau Palmerston. Ini ditentang oleh George Darsie, seorang kerabat Brander yang mengajukan klaimnya atas dasar warisan melalui garis keturunan.
Pada tanggal 23 Mei 1891, Pulau Palmerston secara resmi dianeksasi oleh Kerajaan Inggris. Setelah perang kata-kata yang panjang dengan Darsie, Marsters akhirnya diberikan sewa selama 21 tahun di pulau itu. Akhirnya, keturunan Marsters diberikan kepemilikan penuh atas Pulau Palmerston pada tahun 1954 ketika Parlemen Selandia Baru mengesahkan amandemen Undang-Undang Kepulauan Cook.
Marsters sendiri meninggal pada tanggal 22 Mei 1899 akibat kekurangan gizi setelah pohon kelapanya rusak akibat penyakit hawar. Namun demikian, sebelum kematiannya, ia dapat membagi pulau itu menjadi tiga bagian, satu untuk setiap istri dan keturunannya.
Menurut catatan, pada saat kematiannya, Marsters memiliki 17 anak dan 54 cucu. Laporan lain mengeklaim angka ini lebih tinggi dengan dia menjadi ayah dari setidaknya 20 anak. Hampir semua penduduk Pulau Palmerston saat ini adalah keturunan Marsters dan masih banyak lagi keturunan Marsters yang tinggal di Rarotonga dan Selandia Baru.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR