Moral cerita dari taman-taman kehormatan
Berbeda dengan 15 tahun silam, Taman-taman Kehormatan Belanda kini terbuka untuk umum. Terdapat tujuh Taman Kehormatan di Jawa: Ereveld Kembang Kuning di Surabaya, Ereveld Kalibanteng dan Ereveld Candi di Semarang, Ereveld Leuwigajah di Cimahi, Ereveld Pandu di Bandung, Ereveld Menteng Pulo dan Ereveld Ancol di Jakarta.
“Kami sekarang menyambut lebih dari 20.000 pengunjung setiap tahun, yang datang untuk belajar sejarah dan kisah para korban perang,” kata Eveline. Umumnya mereka adalah komunitas anak muda yang berusia 20-an tahun yang hidup di dunia damai. “Tapi kita tahu dari masa lalu dan dari tempat-tempat lain di dunia saat ini bahwa perdamaian tidak datang begitu saja,” ujarnya. “Perdamaian bisa tiba-tiba terganggu dan seringkali akibat proses panjang berbagai pihak yang berhenti mendengarkan satu sama lain dan tidak berhasil menemukan solusi alternatif untuk konflik.”
Bara konflik tidak segera padam kendati perang usai. Kolonel Norbert Moerkens mengungkapkan trauma pascaperang—entah kebencian, dendam, atau ketakutan. Trauma semacam itu dialami paman buyutnya pada masa Bersiap di Indonesia, dan trauma ayahnya sendiri ketika menderita pada periode kuasa Jerman di Eropa. Peristiwa itu mengingatkan kepadanya tentang proses transformasi yang harus dilalui dari kesedihan, menuju rekonsiliasi, dan pencerahan.
“Menurut saya, tempat seperti ini bisa menjadi wadah transformasi seperti itu,” ujar Moerkens. Ia mengajak kita untuk bisa mengambil jalan alternatif menuju pencerahan, sehingga generasi muda dan generasi mendatang tidak harus menemui semua penderitaan dan kesedihan semacam ini. “Saya akan meninggalkan Anda dengan pikiran-pikiran itu dan berharap bahwa Anda akan bersedia menggunakan tempat seperti ini—di masa kini dan di masa depan—untuk transformasi kesedihan, rekonsiliasi, dan pencerahan.”
Proses transformasi itu harus terjadi di kedua belah pihak. Moerkens memberikan proses transformasi itu dari sudut pandang Belanda. "Hidup membutuhkan langkah-langkah berani," ujarnya, "seperti bersedia hadir di Hari Pahlawan Indonesia, atau menjawab pertanyaan apakah harus ada monumen bagi orang tak tercela yang dibunuh selama perang kemerdekaan oleh Belanda?"
Ereveld Ancol merupakan taman kehormatan milik Belanda yang pertama di Indonesia. Diresmikan 14 September 1946, yang saat itu dikelola Dinas Permakaman Perang Belanda.
Pejuang Tasikmalaya, K.H. Zainal Mustofa dieksekusi Jepang di sini pada 28 Maret 1944. Dia dimakamkan bersama santri dan korban-korban perang lainnya asal Belanda. Pada 1972 pemerintah memberikan penghargaan kepadanya sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Baru pada 1973, jasad mereka dimakamkan kembali di Tasikmalaya.
Profesor Achmad Mochtar, orang Indonesia pertama yang menjabat Direktur Lembaga Eijkman, tewas sebagai martir dalam kasus fitnah vaksin maut pada 3 Juli 1945. Berkat Profesor Sangkot Marzuki, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Lembaga Eijkman, makamnya "ditemukan kembali" pada 2010.
Hubertus Johannes van Mook selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda (menjabat 1942-1948) berpidato dalam peresmian taman kehormatan ini, “Mereka telah dieksekusi, terkadang disiksa sampai mati, terkadang terbunuh dalam pertempuran ketika mereka akhirnya bisa mendapatkan senjata. Tapi mereka semua mati untuk tujuan yang sama: untuk memulihkan kebebasan dan kemanusiaan."
Kawasan permakaman ini merupakan bekas ladang eksekusi saat pendudukan Jepang 1942-1945. Mereka yang ditawan dan tewas di sini bukan saja orang Belanda, tetapi juga orang-orang Indonesia yang dianggap berbahaya bagi Jepang. Mereka yang beristirahat di sini bukan hanya korban eksekusi di Ancol, tetapi juga korban eksekusi di beberapa tempat lainnya—seperti Hasan dan lima ulama asal Aceh.
Baca Juga: Warga Belanda dan Indonesia Bersama Memperingati Berakhirnya Perang Dunia Kedua
Baca Juga: Penuturan Dua Penyintas: Bagaimana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?
Baca Juga: Roti Berbiang Air Kencing di Kamp Tawanan Jepang untuk Bertahan Hidup
Baca Juga: Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai 'Salam Djempol' di Jawa
Baca Juga: Tenggelamnya Kapal Poelau Bras Jelang Tamatnya Hindia Belanda
Ada tujuh taman kehormatan Belanda di Jawa, yang bukan sekadar menyimpan cerita mereka, tetapi juga cerita kita. Masa lalu tidak bisa kita ubah, namun kita bisa bersama-sama mengubah masa depan demi persaudaraan yang lebih baik.
Cut Putri mencoba ikhlas. Sejatinya dia tidak tega menyaksikan makam bangsawan dan tokoh Muhammadiyah bersama ulama Aceh lainnya itu berpenanda salib. Namun ia menyadari bahwa para korban tidak bisa memilih untuk dimakamkan bersama siapa dalam makam massal ini. “Saya mohon untuk bisa menenggang rasa ketika harus sedih, ketika saya harus menziarahi makamnya dengan tabur bunga,” ujarnya.
Suasana takzim mengalun di sekeliling ruas-ruas Ereveld Ancol. Ada kedamaian di lokasi bekas ladang pembantaian ini ketika dua perempuan itu melangkahkan kaki menuju monumen untuk menghormat jiwa-jiwa yang telah mencapai kemenangan. “Begitu menaruh bunga di monumen,” ujarnya, “saya berpikir semua makhluk yang pada saat itu tidak bisa kita lihat dengan mata, semua makhluk hadir bersama kita, mengucapkan terima kasih, ‘kami masih dikunjungi’.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR