Pendaratan dan pendudukan Aceh dapat dengan mudah dicapai oleh militer Jepang karena mendapat dukungan dari anggota-anggota Fujiwara Kikan, sering disebut Barisan-F, yakni unit intelijen Jepang yang terafiliasi dengan Rikugun atau Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Selain itu pendaratan terbantu karena dukungan Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh (POESA). Pada Januari 1942, Ketua Pemuda Pengurus Besar POESA menganjurkan supaya cabang-cabangnya di seluruh Aceh untuk berdaya upaya meluaskan peperangan terhadap Belanda, dan setia terhadap tentara Jepang, serta membantu mereka saat pendaratan nanti.
Perkara pemerintahan, Jepang tidak banyak mengubah susunan pemerintahan Aceh dari tinggalan Hindia Belanda. Namun, mereka mengganti nama-nama susunan wilayah pemerintahan dalam bahasa Jepang. Keresidenan diganti Syu, dikepalai oleh Syu Cokan; Afdeling menjadi Bunsyu, dikepalai oleh Bunsyuco; Onder Afdeling menjadi Gun, dikepalai oleh Gunco; Uleebalangschap menjadi Sen, dikepalai oleh Soncho; dan Gampong menjadi Kumi, dikepalai oleh Kumico.
Atas reputasi dalam kepemimpinannya, Hasan ditunjuk oleh Jepang sebagai Gunco, setara kepala kota di Sigli. Bahkan Jepang mengirim Hasan bersama tokoh-tokoh Sumatra lainnya ke Tokyo. Sejatinya, program ini adalah bagian propaganda Jepang untuk menarik simpati warga Aceh.
Sitti Mawar dalam bukunya bertajuk Teuku Nyak Arif: Pejuang Aceh Tiga Zaman, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Banda Aceh pada 2013, mengisahkan sikap keteguhan Hasan selama di Jepang. “Baik selama berada di tanah air maupun ketika berada di Tokyo,” tulisnya, “Teuku Hasan Dik dan Teuku Nyak Arif yang menjadi pimpinan rombongan Sumatera, tidak pernah mengikuti perintah Jepang untuk rukuk/membungkukkan diri mereka memberi hormat ke arah matahari terbit/lstana Tenno Heika.” Dia lalu menambahkan, “Karena sebagai umat islam tidak mau merobah kiblat ke arah yang lain.”
Hasan diminta untuk mengerahkan warga supaya bersedia bekerja mendukung Jepang, namun ia menolak dengan caranya sendiri. Mawar mengungkapkan juga bahwa sekembalinya di Aceh, Hasan "justru memaparkan apa yang sesungguhnya mereka lihat terutama mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi Jepang akibat serangan balasan Amerika dan sekutu-sekutunya."
Alih-alih bekerja sama, Hasan justru menebarkan pertentangan dengan Jepang melalui ceramah-ceramahnya yang berisi tentang arti penting kemerdekaan, sekaligus menentang bentuk penjajahan.
Tampaknya orang-orang Jepang berang dibuatnya. Kemudian mereka memfitnah Hasan atas dugaan spionase dan menjalin komunikasi dengan Sekutu melalui pemancar radio rahasia. Dia diajukan ke Pengadilan Militer. Namun, setelah serangkaian proses pengadilan, Hasan dibebaskan atas segala tuduhan menentang pemerintahan Jepang. Ia pun pulang dengan melangkahkan kaki menuju stasiun kereta di Lapangan Merdeka, Medan.
Catatan Oorlogsgraventichting mengungkapkan, “Saat ia sedang menuju kereta yang akan membawanya pulang, ia tiba-tiba diculik dan ditangkap kembali oleh Kempetai, militer Jepang dan polisi rahasia. Teuku Muhammad Hasan dibawa ke Pancur Batu di mana Kempetai mengeksekusinya untuk kejahatan yang tidak dilakukannya.”
Sejak saat itu nama dan kontribusinya dalam perjuangan Indonesia nyaris hilang dalam ingatan warga Aceh. Bahkan, siapa sosok di balik “Jalan Teuku Hasan Dek”—yang membentang sekitar satu kilometer di jantung Banda Aceh—pun tidak ada lagi warga yang memedulikannya.
Cut Putri, yang pernah menjadi aktivis muda di sebuah gedung di ruas jalan itu, mengungkapkan kesaksiannya. Ia baru menyadari sosok itu adalah sang pejuang yang sedang ia singkap riwayatnya belakangan ini. “Kami sendiri tidak tahu siapa itu ‘Teuku Hasan Dek’ karena Hasan Dek itu nama panggilan karena dia gemuk, dia gendut,” ujarnya. “Kan engga relevan kalau nama jalan dibuat dari nama panggilan?”
“Almarhum Pak Hasan adalah orang yang sangat berani. Ia berdiri melawan pasukan Jepang untuk memperjuangkan hak-hak orang Indonesia saat itu dan di masa depan. Kisahnya adalah keteguhan hati. Kisah dedikasi untuk melakukan apa yang benar dan membela apa yang kita yakini,” ungkap Eveline. “Semoga kita berharap kisah korban-korban perang lainnya tetap hidup dan menjadi sumber inspirasi komitmen perdamaian bagi kita semua."
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR