Sepakat dengan Agus, fotografer National Geographic Indonesia Donny Fernando juga menganggap Wasur adalah "batas antara surga dan neraka". Terlepas dari cuaca panas dan serangan serangga yang membuat tubuh Donny merah-merah, Wasur punya pemandangan alam bak firdaus.
Dari sudut pandang seorang fotografer, Donny sangat senang berada di Wasur karena di sana ia bisa begitu mudah memotret banyak burung dari berbagai jenis. Burung-burung yang belum pernah ia jumpai sebelumnya seperti elang siul dan pelikan australia.
Rawa Biru hingga perbatasan Sabana Youram adalah studio alam unggas. Sementara langit malam di atas Sabana Youram adalah studio astronomi.
"Memotret Galaksi Bima Sakti itu mudah sekali, karena tidak ada polusi cahaya di sana. Bahkan satu-satunya cahaya yang ada di sana adalah senter dari tenda kami," kata Donny.
Di Sabana Youram juga ada walabi, rusa, hingga babi hutan. Sayangnya, walabi sebagai hewan khas di sana cenderung suka bersembunyi dan bergerak cepat sehingga lebih sulit untuk dipotret.
Bagi Donny, Taman Nasional Wasur juga adalah salah satu tempat yang tampaknya akan terus ia ingat. "Sampai sekarang, pengalaman di Wasur itu masih terlintas di pikiran saya setiap sebelum tidur."
Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia, juga terus memikirkan Wasur sepulang dari sana. Namun, pikirannya lebih seperti filsuf. Ia bertanya-tanya, siapa sejatinya yang berkuasa di sana, karena manusia hanyalah segelintir makhluk tak berdaya. Apakah alam akan selamanya harmoni?
Perjalanan dari Wasur membuatnya bercermin. Seperti langir biru di sana yang bercermin pada Rawa Biru sehingga airnya terlihat biru dan dinamakan Rawa Biru.
Yoanata mencatat, Taman Nasional Wasur memiliki luas yang setara enam kali Provinsi DKI Jakarta.
"Bayangkan, seluas enam kali DKI Jakarta itu, butuh berapa orang untuk mengelolanya?" tanya Yoanata retoris. "Untungnya, penghuni atau warga di sana punya kearifan dari leluhur mereka, bagaimana mereka bisa hidup bersama lingkungan sehinggga turut melestarikan kawasan."
Tradisi turun-temurun mengajarkan orang-orang lokal di Wasur untuk menghormati dan melestarikan alam. Makanan mereka berasal dari alam. Jadi, kalau mereka ingin bertahan hidup, mereka harus menjaga dan melestarikan alam Wasur.
Kearifan lokal masyarakat di sana itulah yang juga membuat Agus dan Donny terkesima. Secara puitis, Agus menyebut ekspedisi ini adalah pelajaran "menatap ufuk timur."
Ekspedisi mereka secara geografis membuat mereka menatap ke timur. Namun, secara kearifan, sebagai manusia mereka juga sedang belajar bagaimana pengalaman orang-orang timur di sana berhubungan dengan alam.
Orang-orang kota mungkin baru sekadar belajar bertahan hidup di Wasur dengan membaluri minyak oles penghalau nyamuk di sekujur tubuh. Namun, para penghuni lokal Wasur telah lama memahami ilmu bertahan hidup di sana dengan memuliakan dan melestarikan alamnya. Kisah lengkap pemuliaan alam Wasur ini tersaji di Majalah National Geographic Indonesia edisi Januari 2023.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR