Nationalgeographic.co.id—Untuk bertahan hidup di Sabana Youram, Agus Prijono terpaksa mandi minyak setiap malamnya. Berbagai macam minyak, mulai dari losion antinyamuk hingga minyak kayu putih, ia baluri ke sekujur tubuhnya. Minyak oles ini adalah senjata perangnya melawan nyamuk, agas, dan serangga-serangga lain selama ia tidur di dalam tenda di tengah sabana yang ada di Taman Nasional Wasur itu.
Agus Prijono adalah penulis kontributor National Geographic Indonesia. Bersama para awak redaksi lainnya pada akhir tahun lalu, ia menjalankan ekspedisi ke taman nasional Indonesia paling timur itu. Letaknya di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, berbatasan dengan negara Papua Nugini.
Menyingkat kata, berdasarkan pengalamannya selama Oktober-November lalu, Agus menjuluki Taman Nasional Wasur sebagai wilayah antara surga dan neraka. Pemandangan alamnya bagaikan surga, tapi kondisi cuacanya bagaikan neraka.
Secara khusus, Agus menjuluki momen sore hari di Sabana Youram sebagai senja neraka. "Kalau pas senja itu, waduh, kita harus benar-benar prepare menjaga tubuh kita dari gigitan nyamuk, agas, dan serangga Papua lain," ujar Agus dalam Bincang Redaksi-55 National Geographic Indonesia bertajuk "Di Balik Layar Penugasan Pusparagam Wasur" pada Kamis, 5 Januari 2023.
"Kalau menjelang subuh dan magrib, banyak serangan nyamuk dan agas," imbuhnya.
Di Sabana Youram, Agus tidur di dalam tenda yang didirikan di bawah sebuah pohon asam jawa. Uniknya, ini adalah satu-satunya pohon yang tumbuh di sabana tersebut.
Agus menyebut cuaca di Sabana Youram bagaikan surga karena sepanjang hari terasa panas. "Cuacanya itu hangat dan panas. Jadi dingin itu nggak ada," sebut Agus. Rekannya yang lain menyebut cuaca Youram hanya ada panas dan sangat panas.
"Kalau masuk tenda, panasnya minta ampun!" seru Agus. "Salah satu trik untuk hidup di sana, ya, pakai kelambu dan minyak oles, tapi malah bikin tubuh tambah panas."
Meskipun sudah panya minyak dan losion antinyamuk pun, tubuh Agus dan rekan-rekannya tak otomatis terbebas dari serangan nyamuk dan serangga lain. Ingat, ini di tengah Sabana Youram, Bung! Jantung Taman Nasional Wasur.
"Jadi setiap pagi, bangun dari tidur, kami mengecek badan kami, apakah penuh bentol gigitan serangga."
Sebagai orang kota, Agus dan rekan-rekannya cukup kaget mendapat pelajaran sekaligus pengalaman baru ini. Ilmu anyar bertahan hidup di lingkungan sabana Papua.
Secara kenegaraan, Wasur berada di Indonesia. Namun, kalau secara ekosistem, menurut Agus, wilayah ini lebih terkait dengan Australia bagian utara. "Jadi, kami ke Wasur yang ada di Indonesia, tapi sebenarnya kami juga merasakan bagaimana (cuaca dan kondisi lingkungan) daratan utara Australia" yang panas.
Meski cuacanya seperti neraka, Taman Nasional Youram memiliki pemandangan alam bak nirwana. Berbagai jenis burung air dan terestrial ada di sana.
"Perjalanan dari Rawa Biru ke Sabana Youram itu adalah surga avifauna. Teman-teman yang suka burung-burung itu akan dimanjakan. Wah, itu nggak keitung jumlahnya dan ada segala macam burung."
Agus dan rekan-rekannya menelusuri Rawa Biru dengan menggunakan tujuh kole-kole warga setempat. Perahu serupa kano ini menjadi alat transportasi yang andal di perairan rawa yang dangkal dan bercelah sempit, menempuh jalur sepanjang 15 hingga 20 kilometer untuk mencapai Sabana Youram. Rawa Biru dan Sabana Youram adalah bagian dari Ramsar di Wasur.
Sebagai satu dari tujuh situs Ramsar atau lahan basah di Indonesia, Wasur punya kekayaan ekosistem yang melimpah di sepanjang pesisir, rawa, dan sabananya. Lahan basah menjadi ekosistem paling produktif di dunia, hunian bagi pusparagam kehidupan. Kawasan ini juga menjadi penyedia air bersih dan suaka plasma nutfah.
Taman nasional ini merupakan habitat bagi 80 spesies mamalia, surga bagi 403 spesies burung, 48 spesies serangga, 72 spesies ikan, 21 spesies reptil dan amfibi. Semuanya menghuni dalam bentang 14 tipe hutan.
Ratusan macam spesies burung inilah yang dilihat Agus dan rekan-rekan. "Itu yang membuat kami lupa dengan segala kesengsaraan tadi. Gatalnya lupa, nyamuknya lupa. Jadi lupa dengan melihat burung-burung ini."
Baca Juga: Pusparagam Wasur: Kisah Pelestarian yang Mengakar pada Budaya
Baca Juga: Menghuni Pulau Palmerston: Satu Pria, Tiga Istri, dan Surga Kelapa
Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Patroli Warga Menjaga Sang Ibu Kehidupan
"Sepanjang pengalaman saya," tegas Agus yang pernah menjelajahi berbagai taman nasional di Indonesia, "Wasur adalah tempat paling mudah untuk mengamati burung. Dan nggak ada bosannya, karena burungnya bermacam-macam."
"Begitu pulang (dari Wasur), saya ingin kembali lagi, lupa dengan kesengsaraan tadi."
Sepakat dengan Agus, fotografer National Geographic Indonesia Donny Fernando juga menganggap Wasur adalah "batas antara surga dan neraka". Terlepas dari cuaca panas dan serangan serangga yang membuat tubuh Donny merah-merah, Wasur punya pemandangan alam bak firdaus.
Dari sudut pandang seorang fotografer, Donny sangat senang berada di Wasur karena di sana ia bisa begitu mudah memotret banyak burung dari berbagai jenis. Burung-burung yang belum pernah ia jumpai sebelumnya seperti elang siul dan pelikan australia.
Rawa Biru hingga perbatasan Sabana Youram adalah studio alam unggas. Sementara langit malam di atas Sabana Youram adalah studio astronomi.
"Memotret Galaksi Bima Sakti itu mudah sekali, karena tidak ada polusi cahaya di sana. Bahkan satu-satunya cahaya yang ada di sana adalah senter dari tenda kami," kata Donny.
Di Sabana Youram juga ada walabi, rusa, hingga babi hutan. Sayangnya, walabi sebagai hewan khas di sana cenderung suka bersembunyi dan bergerak cepat sehingga lebih sulit untuk dipotret.
Bagi Donny, Taman Nasional Wasur juga adalah salah satu tempat yang tampaknya akan terus ia ingat. "Sampai sekarang, pengalaman di Wasur itu masih terlintas di pikiran saya setiap sebelum tidur."
Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia, juga terus memikirkan Wasur sepulang dari sana. Namun, pikirannya lebih seperti filsuf. Ia bertanya-tanya, siapa sejatinya yang berkuasa di sana, karena manusia hanyalah segelintir makhluk tak berdaya. Apakah alam akan selamanya harmoni?
Perjalanan dari Wasur membuatnya bercermin. Seperti langir biru di sana yang bercermin pada Rawa Biru sehingga airnya terlihat biru dan dinamakan Rawa Biru.
Yoanata mencatat, Taman Nasional Wasur memiliki luas yang setara enam kali Provinsi DKI Jakarta.
"Bayangkan, seluas enam kali DKI Jakarta itu, butuh berapa orang untuk mengelolanya?" tanya Yoanata retoris. "Untungnya, penghuni atau warga di sana punya kearifan dari leluhur mereka, bagaimana mereka bisa hidup bersama lingkungan sehinggga turut melestarikan kawasan."
Tradisi turun-temurun mengajarkan orang-orang lokal di Wasur untuk menghormati dan melestarikan alam. Makanan mereka berasal dari alam. Jadi, kalau mereka ingin bertahan hidup, mereka harus menjaga dan melestarikan alam Wasur.
Kearifan lokal masyarakat di sana itulah yang juga membuat Agus dan Donny terkesima. Secara puitis, Agus menyebut ekspedisi ini adalah pelajaran "menatap ufuk timur."
Ekspedisi mereka secara geografis membuat mereka menatap ke timur. Namun, secara kearifan, sebagai manusia mereka juga sedang belajar bagaimana pengalaman orang-orang timur di sana berhubungan dengan alam.
Orang-orang kota mungkin baru sekadar belajar bertahan hidup di Wasur dengan membaluri minyak oles penghalau nyamuk di sekujur tubuh. Namun, para penghuni lokal Wasur telah lama memahami ilmu bertahan hidup di sana dengan memuliakan dan melestarikan alamnya. Kisah lengkap pemuliaan alam Wasur ini tersaji di Majalah National Geographic Indonesia edisi Januari 2023.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR