Nationalgeographic.co.id—Cuaca ekstrem semakin umum dan parah secara global. Banyak kota di dunia yang semakin rentan terdampak bencana. Termasuk kota-kota di Indonesia.
Lembar fakta Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang menguraikan dampak perubahan iklim terhadap pemukiman manusia adalah bacaan yang sangat serius. Laporan ini megegaskan bahwa manusia harus mulai segera beradaptasi dengan perubahan iklim.
Adapatasi ini terkesan sebagai hal yang menakutkan. Namun, "bagaimana" melakukannya bukanlah sebuah misteri. Peluang adaptasi itu ada tepat di depan kita, di jalan, gedung, dan taman kita. Sejumlah kota dunia mulai membuat perkuatan kota yang efektif untuk beradaptasi dengan cuaca yang lebih ekstrem. Berikut lima contoh kota di antaranya.
1. Medellin
Thami Croeser, peneliti di Centre for Urban Research, RMIT University, menulis di The Conversation bahwa Medellin di Kolombia adalah salah satu kota yang membuat kemajuan yang menginspirasi dalam adaptasi perubahan iklin. "Dengan anggaran penghijauan perkotaan sebesar 16,3 juta dolar AS, telah dibuat jaringan 30 "koridor hijau" melalui kota itu," tulisnya.
Sejauh ini, program tersebut telah mulai mengurangi efek pulau panas perkotaan. Saat koridor-koridor bervegetasi padat ini matang, ini diharapkan pada akhirnya menghasilkan pendinginan 4–5 ℃.
2. Wina
Kota Wina di Austria telah menerapkan strategi pulau panas perkotaan sejak 2018. Program ini mencakup penanaman 4.500 pohon setiap tahun dan subsidi untuk dinding hijau yang menghadap ke jalan.
Kota ini telah mengembangkan serangkaian "jalan sejuk", ruang dengan lalu lintas tenang dengan permukaan jalan berwarna terang. Lalu ada pula "hujan kabut" yang aktif pada hari panas, yakni fitur air, pohon rindang, dan air mancur minum.
Delapan belas jalan keren dikirim sebagai pop-up, dengan empat lainnya dipasang secara permanen untuk memberikan perlindungan pada hari-hari yang panas. Wina juga memiliki jaringan kolam renang umum yang luas di mana penduduk dapat menyejukkan diri.
3. Bishan
Ruang hijau perkotaan juga dapat bermanfaat untuk mencegat dan menyerap air hujan untuk mencegah banjir. Contoh yang spektakuler adalah Taman Bishan-Ang Mo Kio di Kota Bishan, Singapura. Itu adalah lokasi saluran drainase beton yang diubah menjadi sungai berliku sepanjang 3,2 km pada tahun 2012.
Baca Juga: Bagaimana Perubahan Iklim Bisa Menyebabkan Banjir Parah di Indonesia?
Baca Juga: 2050: Kerugian akibat Banjir Jakarta Diprediksi Naik Lima Kali Lipat
Baca Juga: Tenggelamnya Kota-Kota Dunia, Jakarta dan Bangkok Paling Cepat Kelelap
Taman seluas 62 hektare di sepanjang tepi sungai yang landai itu melayani kawasan permukiman yang berkembang pesat. Dalam kondisi basah, arus membengkak hingga selebar 100 meter. Saat air hujan mengalir dengan lembut ke hilir, air itu mengalir ke lanskap.
Taman Bishan telah menjadi salah satu taman paling populer di Singapura sejak saluran beton utilitarian diubah menjadi lanskap sungai naturalisasi.
Sejak taman itu dibuat, jumlah pengunjung meningkat dua kali lipat menjadi 6 juta setahun. Keanekaragaman hayati di sana juga telah meningkat 30%.
4. Rotterdam
Versi yang sangat urban dari lahan penyerap air hujan adalah "alun-alun yang dapat dibanjiri". Contoh bagusnya adalah Watersquare Benthemplein di Rotterdam, alun-alun umum yang tenggelam dan lapangan basket yang menjadi cekungan air hujan utama saat hujan.
Atap hijau yang menangkap air hujan ini juga membantu mengurangi risiko banjir di area yang dibangun. Sekali lagi, pendekatan Rotterdam menarik. Selain mengurangi aliran air hujan badai, program penghijauan atap kota ini juga berfokus pada multifungsi dengan mengintegrasikan panel surya, ruang sosial dan pertanian atap. "Dakakker" (peternakan atap) tambahan yang dipasang di sana memiliki penyimpanan air hujan yang canggih, hamparan sayuran, sarang lebah, beberapa ekor ayam, dan kafe populer.
Tentu saja, program atap hijau biasanya membutuhkan pemilik gedung swasta untuk bergabung. Rotterdam mensubsidi pemilik yang memberikan atap penghijauan yang mencegat sejumlah besar air hujan. Pada tahun 2021, Rotterdam memiliki 46 hektare atap hijau, setara dengan sekitar 0,5 meter persegi per penduduk.
5. Basel
Kota Basel di Swiss memimpin dunia dengan atap hijau seluas 5,7 meter persegi per orang (per 2019). Basel memiliki insentif serta undang-undang yang mewajibkan atap hijau sejak akhir 1990-an. Progres di Basel ini menyoroti pentingnya menerapkan peraturan lebih awal.
Prinsip tersebut tampaknya juga berlaku untuk kota-kota besar: Tokyo telah mengamanatkan atap hijau sejak tahun 2000, dan memiliki sekitar 250 hektare di antaranya.
"Pengalaman kota-kota yang diprofilkan di atas menunjukkan beberapa unsur penting, kata Croeser.
Pertama, kota harus bersedia berinvestasi besar-besaran, baik untuk ruang hijau baru maupun subsidi untuk mendorong penghijauan oleh pemilik properti pribadi.
Kedua, realokasi ruang abu-abu yang ada, seperti jalan dan kanal, harus dilakukan tanpa rasa takut dan sistematis. Walikota terpilih Paris sejak 2014, Anne Hidalgo, adalah contoh spektakuler keberanian politik yang dibutuhkan untuk penghijauan skala besar.
Ketiga, undang-undang dapat memainkan peran nyata dalam memandu pembangunan, melalui langkah-langkah seperti mengamanatkan penghijauan pada bangunan. Hal ini dapat dicapai melalui pedoman atau aturan yang cukup sederhana seperti persyaratan atap hijau Toyko, atau instrumen berbasis area yang lebih canggih yang memerlukan sebagian pembangunan untuk memiliki dinding dan/atau atap hijau. Kota-kota seperti Seattle dan Brisbane menggunakan aturan ini.
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR