Nationalgeographic.co.id—Dalam kronik prasejarah, dahulu pernah hidup seekor burung raksasa pemangsa yang kerap meneror dan meresahkan ekosistem di bumi. Ilmuwan menyebut masa-masa gawat itu dengan "burung teror."
Meski disebut burung, ia sejatinya tak mampu terbang tinggi seperti kebanyakan. Burung raksasa yang tidak bisa terbang itu memiliki tinggi 3 meter. Ia dikenal sebagai predator teratas di Amerika Selatan yang hidup antara 60 juta dan 2 juta tahun yang lalu.
Terakhir kali, kerangka fosilnya ditemukan di Argentina pada tahun 2006. Para ilmuwan tahu bahwa phorusrhacid bisa berukuran besar, tetapi sampai sekarang belum ada fosil yang cukup lengkap untuk mengetahui seperti apa bentuk terbesarnya.
"Burung raksasa itu berasal dari keluarga phorusrhacid," tulis Debora Mackenzie kepada New Scientist dalam artikel berjudul "Giant 'terror bird' was light on its feet" yang diterbitkan pada 25 Oktober 2006.
Selama zaman Miosen dan Pliosen awal, terjadi peningkatan ukuran populasi phorusrhacid di Amerika Selatan, menunjukkan bahwa, dalam jangka waktu tersebut, berbagai spesies tumbuh subur sebagai predator di lingkungan sabana.
Para ilmuwan menggunakan pindai CT untuk memeriksa arsitektur tengkorak dari dalam ke luar, menemukan struktur yang jauh lebih kaku daripada yang terlihat pada kebanyakan burung.
Data tersebut digunakan untuk membuat model komputer 3-D berbasis teknik, yang mengungkapkan tekanan yang tercipta saat tengkorak digital dimasukkan melalui serangkaian gerakan menggigit, meronta-ronta, dan mengguncang.
Baca Juga: Dinosaurus Mirip Burung Unta Hidup di Amerika Utara 85 Juta Tahun Lalu
Baca Juga: Cangkang Telur Burung Unta Purba Ini Simpan Sejarah 350.000 Tahun Lalu
Baca Juga: Kyhytysuka Sachicarum, Predator Makro Laut Baru dari Jurassic
Hasilnya menunjukkan bahwa predator raksasa ini memiliki tengkorak mirip kapak yang sangat kuat dan kaku. Hal ini membuat ilmuwan menjuluki spesies mereka dengan ungkapan: "Melayang Seperti Kupu-Kupu, Menyengat Seperti Lebah."
Burung teror tidak dapat terbang, tetapi mereka dapat mencapai kecepatan hingga 60 mil per jam di darat.
Source | : | New Scientist |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR