Nationalgeographic.co.id—Ornitolog dari Montana State University telah membangun kembali pohon keluarga filogenetik baru untuk burung paleognath, yaitu kelompok burung yang tidak bisa terbang. Kelompok ini termasuk banyak spesimen burung terbesar dan terberat di planet kita.
Pohon keluarga baru untuk paleognath menawarkan kesempatan untuk mengevaluasi kembali kesimpulan sebelumnya tentang kelompok tersebut. Temuan mereka telah dijelaskan di jurnal eLife.
Untuk diketahui, sekitar 50 spesies burung di Bumi saat ini tidak termasuk dalam kelompok yang sama dengan 10.000 lainnya yang ada saat ini. Kelompok itu dikenal sebagai paleognath.
Paleognath adalah kelompok burung yang berjalan atau burung yang tidak bisa terbang. Kelompok ini menyatukan burung unta dan rhea kerabat jauh mereka di Amerika Selatan, serta emu dan kasuari.
Kiwi yang tinggal di darat dan tinamous melengkapi keluarga. Tak satu pun dari burung-burung ini bisa terbang, kecuali tinamous.
Telur paleognath juga agak berbeda dari populasi burung lainnya, lebih besar dan memiliki cangkang yang lebih tebal.
Analisis genetik lanjutan pada tahun 2000-an telah menjungkirbalikkan pemahaman para peneliti tentang urutan evolusi burung-burung ini, dan bagaimana mereka saling terkait satu sama lain.
Pohon keluarga baru untuk paleognath menawarkan kesempatan untuk mengevaluasi kembali kesimpulan sebelumnya tentang kelompok tersebut, yang pada gilirannya dapat mengklarifikasi evolusi dan gaya hidup dinosaurus modern dan punah yang tidak dapat terbang.
Dinosaurus non-unggas punah pada akhir periode Cretaceous, tetapi dinosaurus unggas, misalnya burung, masih ada dan berkembang hari ini sebagai garis keturunan vertebrata darat yang paling spesifik.
Misalnya, ukuran, bentuk, dan warna pigmen serta pola cangkang telur mereka menunjukkan keragaman yang fenomenal.
Palaeognathae adalah salah satu dari dua klad utama burung modern. Paleognath hidup biasanya lebih besar dari burung lain dan tidak bisa terbang kecuali tinamous yang terbang buruk.
Sebanding dengan ukuran tubuhnya, ukuran absolut telur dan cangkangnya biasanya besar dan tebal. Selain itu, cangkang telur paleognath menunjukkan struktur mikro yang khas dibandingkan dengan burung lain.
Keanekaragaman spesies Palaeognathae jauh lebih rendah daripada burung lain, tetapi sangat penting untuk penelitian telur unggas.
Silsilah keluarga sebelumnya berfokus pada karakteristik fisik paleognath seperti emu, burung unta, dan rhea.
Akan tetapi informasi genetik baru yang dipasangkan dengan alat modern lainnya dapat memberikan lebih banyak informasi tentang bagaimana dan mengapa makhluk ini mengembangkan karakteristik unik mereka.
“Kami ingin mengetahui apakah tiga jenis cangkang telur yang terlihat pada paleognath diwariskan dari nenek moyang yang sama atau berevolusi secara mandiri,” kata Seung Choi, seorang peneliti pascadoktoral di Departemen Ilmu Bumi di Montana State University.
Choi dan rekannya menggunakan kristalografi sinar-X untuk menganalisis struktur mikro cangkang telur dari burung paleognath modern, termasuk burung unta, rhea, emu, kasuari, kiwi, burung gajah, dan dua jenis moa.
Mereka juga menganalisis struktur fosil kulit telur dari kelompok burung ini dan pilihan fosil telur dari dinosaurus mirip burung.
Mereka membandingkannya dengan kulit telur dari beberapa burung terbang modern, termasuk burung pegar biasa, goshawk utara, pelatuk hijau Eropa, burung puyuh Jepang, dan murre biasa.
Baca Juga: Ornamen Kulit Telur Burung Unta Singkap Jaringan Sosial Kuno di Afrika
Baca Juga: Kasuari, Burung Terbuas di Dunia Dipelihara Manusia 18.000 Tahun Lalu
Baca Juga: Empat Dinosaurus Ditemukan di Montana, Salah Satunya Mirip Burung Unta
Analisis mengungkapkan bahwa struktur mikro seperti baji yang menjadi ciri kulit telur rhea ditelusuri kembali ke nenek moyang purba burung paleognath.
Namun, struktur mikro telur burung unta dan telur tinamous yang mirip prisma kemungkinan besar berevolusi secara independen kemudian.
“Pola evolusi pada cangkang telur paleognath yang kami ungkapkan dapat membantu ahli burung menguraikan lintasan evolusi cangkang telur di antara kelompok burung yang tidak bisa terbang ini,” kata Dr. Choi.
"Analisis genetik dan mikrostruktur dari cangkang telur fosil hidup ini dapat memberikan wawasan baru tentang evolusi burung dan dinosaurus," kata Profesor David Varricchio dari Montana State University.
“Ini juga dapat membantu kita lebih memahami bagaimana manusia purba hidup dan berinteraksi dengan makhluk yang menakjubkan ini.”
Source | : | Sci News,ELife |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR