Oleh Feri Latif
Nationalgeographic.co.id—Malam beranjak, ribuan warga berkumpul di Alun-Alun Kasepuhan Ciptagelar. Semua mengenakan pakaian adat, kebanyakan berwarna hitam baik lelaki dan perempuan, tua dan muda serta anak-anak. Ada lelaku yang harus dijalankan oleh warga Kesatuan Adat Banten Kidul, Sukabumi Selatan ini. Mereka menunggu saat titah Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, Kepala Adat Kasepuhan Ciptagelar untuk bergerak.
Waktu tepat menunjukan pukul sepuluh malam, 1 Maret 2022. Titah pun turun, saat itulah ribuan warga Ciptagelar bergerak serentak dari alun-alun menuju ke arah Tenggara. Hujan lebat tercurah dari langit, seakan meramaikan untuk menyambut arak-arakan warga itu. Hujan bak menjadi penanda berkah.
Di bawah penerangan obor yang bertahan agar tak padam diguyur hujan ditambah lampu-lampu senter dan lampu gawai, warga mulai menapaki jalan tanah sejauh lebih dari dua kilometer. Jalan menjadi licin disiram hujan, tanah yang tadinya keras perlahan menjadi bubur setinggi mata kaki setelah dilalui langkah ribuan orang.
Medan yang naik turun perbukitan semakin membuat sulitnya perjalanan. Mereka membawa barang-barang yang merupakan komponen atau elemen penting bagi Kasepuhan Ciptagelar. Saksi mata yang hadir mengambarkan betapa dramatis dan epiknya suasana saat itu. Warga bergotong royong dengan sukacita.
Ya, itulah tradisi Ngalalakon atau pemindahan pusat pemerintahan kasepuhan, dari desa Ciptagelar ke tempat yang baru yaitu Gelar Alam!
Tradisi Ngalalakon ini sudah berlangsung dari tahun 1368 atau dari 654 tahun yang lalu. Ini adalah proses pemindahan kasepuhan yang ke-20 kali! Yang terakhir terjadi 21 tahun lalu pada tahun 2001. Kasepuhan dipindah dari Ciptarasa yang posisinya di dataran yang lebih rendah ke Ciptagelar yang lebih tinggi. Kini Gelar Alam posisi datarannya lebih tinggi lagi dari Ciptagelar.
Berikut daftar Ngalalakon Kasepuhan Ciptagelar: Dari Cipatat Urug (1368-1556); Pasir Gombong (1556-1729); Ciear, Cimanaul, Bongkok, Cibeber, Pasir Talaga, Lebak Larang, Lebak Binong (1729-1797); Pasir Talaga (1797-1832); Tegal Lumbu (1832-1895); Cicadas, Bojongcisono (1895-1937); Cicemet, Sirnaresmi (1937-1972); Sirnarasa (1972-1980); Linggarjati (1980-1984); Ciptarasa (1984-2000); Ciptagelar (2001-2022); Gelar Alam (2022- sampai sekarang).
Yoyo Yogasmana pemanggu adat yang bergelar Jambatan atau penghubung atau jembatan antara kasepuhan dan pihak luar menjelaskan tradisi Ngalalakon ini. Kang Yoyo, begitu ia biasa dipanggil menjelaskan perihal nama kasepuhan yang belum berubah.
“Ingat ya, ini perpindahan Kasepuhan Ciptagelar ke tempat baru di kampung Gelar Alam. Namanya masih Kasepuhan Ciptagelar, belum ada nama baru!” tegasnya.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR