“Kita mah hanya melanjutkan apa yang telah dilakukan leluhur kita dulu,” terang Kang Yoyo.
Musim tanam ada hitungannya, mereka berpatokan pada benda-benda Langit, seperti bintang, bulan, cahaya di langit fenomena alam lainnya yang tidak dimengerti orang kebanyakan.
Walau menghasilkan padi yang berlimpah, warga berpantang untuk menjual padi.
“Padi tidak diperjualbelikan kata tata aturan yang kami miliki, itu sebenarnya kita ada konsep hidup dan kehidupan. Kehidupan apa bisa dijual?” Kang Yoyo menjelaskan.
Lebih lanjut ia menyampaikan kepercayaan warga yang sangat menghormati sang Dewi Padi yang disebut dengan Dewi Sri. Padi adalah sumber penghidupan, jadi mana mungkin menjual sumber penghidupannya? Sama saja menjual nyawa!
Penghormatan pada Dewi Padi ini melahirkan budaya dan tradisi bercocok tanam yang mampu menciptkan kedaulatan pangan. Hampir tiap tahapan bercocok tanam selalu ada ritual dan upacaranya. Bercocok tanam di Kasepuhan Ciptagelar menjadi sesuatu yang penting baik rohani dan jasmani.
Warga berpantang juga menggunakan mesin untuk memproses padi menjadi beras. Pamali, begitu kepercayaannya. Semua dilakukan cara menumbuk pada dengan alu dan lesung. Setiap pagi akan terdengar bunyi lesung saat warga menumbuk padi bertalu-talu. Kebiasan ini juga menekan konsumsi padi berlebihan. Sisa penumbukan padi dimanfaatkan, batang padi menjadi sampo merang, bekatul untuk makanan binatang peliharaan.
Padi yang dihasilkan berasal dari bibit tua leluhur mereka yang kuat disimpan dalam lumbung bertahun-tahun. Mereka tidak pernah menggunakan benih hasil rekayasa genetika yang bisa dipanen berkali-kali dalam setahun. Padi mereka hanya dipanen satu kali dalam setahun.
“Untuk memberi waktu pemulihan bagi bumi sang ibu pertiwi,” jelas Kang Yoyo.
Bagi warga kasepuhan bumi adalah ibu sedangkan langit adalah ayah. Mereka mulai bercocok tanam di bumi pertiwi setelah mendapat petunjuk ayah dari langit. Baik itu menanam padi Atau tanaman lainnya.
Mandiri Energi dan Mandiri Kelola Internet
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR