Nationalgeographic.co.id—Di dalam masa-masa perjuangan, Islam dilambangkan sebagai identitas bagi pribumi. Semangat perlawanannya berkobar dari kalangan ulama yang diteruskan para santri sampai kepada masyarakat luas.
Tatkala bermulanya kolonialisme bangsa Belanda, mulai banyak bermunculan cendekiawan muslim melakukan aksi protes atas praktek imperialis yang merugikan pribumi. Akibatnya, "perlawanan demi perlawanan menemukan bentuknya," tulis Moh. Irmawan Jauhari.
Ia menulisnya dalam Kuttab: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam berjudul Resistensi Pesantren pada Masa Penjajahan Belanda yang diterbitkan pada tahun 2017. Para ulama memainkan peran penting di balik gelora semangat perlawanan pribumi.
Para ulama yang melihat kesewenangan, memulai propaganda untuk melibatkan segenap tenaga dan pikirannya untuk membangun pergerakan lewat suatu persatuan.
Fokus utama dari perlawanan ini ialah mempertahankan eksistensi Islam dengan cara membendung proses westernisasi di Hindia Belanda, yang bisa kapanpun merusak tatanan dan kebudayaan Islam.
Hasil dari sejumlah pergumulan dialektis antar ulama dan santri, dari pesantren ke pesantren, kemudian tersebar di kalangan pribumi, perlahan-lahan muncul organisasi persatuan massa.
Salah satu organisasi massa yang cukup masif dan terorganisir—selain Muhammadiyah dan NU—muncul juga Persis (Persatuan Islam) yang dengan cepat menyebar, mengambil bagian dalam pola perlawanan rakyat.
Persis didirikan secara resmi pada tanggal 12 September 1923 di Bandung. Organisasi ini digagas oleh sekelompok pelajar yang berminat akan studi keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus.
Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad ke-20, Persis mempunyai ciri tersendiri, dimana kegiatannya dititik beratkan pada pembentukan faham Keislaman.
"Salah satu usaha Persis untuk mewujudkan cita-citanya, ialah mendirikan lembaga pendidikan, baik berupa sekolah, kursus, kelompok studi atau diskusi, pengajian dan pesantren," tambah Jauhari.
Melalui pendidikan Islam dan pendalaman ilmu agama, Persis sejatinya telah memulai perlawanan pemikiran terhadap hegemoni kolonialis. Ajaran Islam akan menumbuhkan kesadaran diri generasi muda untuk membela agama dan bangsanya.
Memasuki tahun 1915, mulai tumbuh madrasah bagi kaum perempuan, yaitu Madrasah Diniyah putri yang didirikan Rangkayo Rahmah Al-Yunisiah.
Source | : | Kuttab: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR