Menurut tradisi lisan warga Desa Kladar, seperti yang diungkap Resubun dalam penelitiannya, leluhur mereka berasal dari Australia yang menyeberang ke Papua. Sesampai di Papua mereka berkelana ke beberapa tempat.
"Pada suatu saat pemimpin mereka, Weraka, pergi berburu dan ia bertemu dengan seekor rusa. Ia ingin memanah binatang tersebut, tetapi tidak berhasil karena rusa itu terus berlari ke arah selatan sampai di wilayah Kondo, dekat Kota Merauke. Ia berpendapat bahwa tempat itu layak untuk dihuni, maka ia kembali ke kelompoknya dan mengajak mereka berpindah ke daerah sekitar Kondo," tulis Resubun.
"Tetapi," sambungnya, "mereka harus berpindah lagi karena takut akan kelompok-kelompok lain, terutama akibat bunyi yang ditimbulkan oleh ledakan bambu. Perpindahan ini dipimpin oleh Weraka muda, karena Weraka tua telah meninggal dunia."
Selanjutnya mereka berkelana menyusuri sepanjang pantai selatan. Sampai tiba di suatu tempat yang kini disebut Bibikem, toponimi satu desa di pantai selatan Papua. Kemudian mereka menyeberang ke Pulau Kimaam, demikian kisah Resubun, lalu terus bergerak ke arah selatan dan tiba di daerah yag dikenal dengan nama Karapdikrama, dekat Sungai Mooi.
Baca Juga: Pusparagam Wasur: Kisah Pelestarian yang Mengakar pada Budaya
Baca Juga: Peneliti Australlia Menemukan Spesies Baru Kanguru Raksasa di Papua
Baca Juga: Melacak Surga Pari Manta di Rajaampat: Yef Nabi Kecil sampai Arborek
Baca Juga: Spesies Baru Burung Berrypecker Ditemukan di Kaimana, Papua Barat
"Di sini kelompok itu terbagi dua, yang satu berjalan terus ke arah selatan dan menjadi leluhur dari penduduk Desa Kladar," ungkapnya, "sedangkan yang lain berbalik ke arah utara."
Menurut kisahnya, "Penghuni Desa Kladar merupakan petani yang handal dan hasil pertanian mereka amat memuaskan, sehingga mereka mengundang penduduk desa tetangga untuk menghadiri acara syukuran mereka. Para tamu terkagum-kagum dengan hasil kebun orang Kladar, lalu mereka mengusir tuan rumah dengan tipu muslihat dan menguasai desa. Penduduk asli berpindah ke desa Kladar yang sekarang ini masih dihuni. Mereka ini terdiri dari klan Awi, Buer, Mawen dan Tumbaima."
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Penetapan kawasan konservasi ini turut berkontribusi pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs). Target itu sevar nomor 14 tentang Ekosistem Lautan—melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudra untuk pembangunan berkelanjutan—sekaligus target konservasi laut global.
“Proyek ATSEA-2 berkontribusi dengan memberikan fasilitasi peningkatan kapasitas dan kesadaran masyarakat, pendampingan dalam konsultasi publik serta teknis untuk penyusunan dokumen rencana zonasi kawasan konservasi ini telah dilakukan,” demikian ujar National Project Coordinator Proyek ATSEA-2, Dwi Ariyoga. Proyek ini merupakan kerja sama Pusat Riset Perikanan KKP dengan UNDP Indonesia, yang telah memberikan dukungan teknis dalam proses penetapan kawasan ini melalui berbagai rangkaian kegiatan.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR