Natioanlgeographic.co.id—Pulau Kolepom, daratan dengan cekungan berawa-rawa di pesisir selatan Papua yang menghadap Laut Arafura. Toponiminya nyaris tidak pernah hadir dalam percakapan kita, barangkali lantaran belum menjadi destinasi perjalanan wisata. Berbeda dengan kawasan pesisir utara Papua, yang lebih ramai disinggahi pejalan.
Letak pulau ini berada di barat daya Papua, tepatnya sisi barat Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Sebutan untuk pulau ini pun mengalami perubahan seiring perjalanan waktu.
Sejatinya, awalnya masyarakat adat setempat menyebut pulau dengan ini Kimaam—yang merujuk pada tempat persinggahan yang dalam bahasa setempat khima-khima. Ketika kuasa Nederland Nieuw Guinea, pulau ini memiliki nama resmi Pulau Fredick van Hendrik.
Selanjutnya, setelah Pertempuran Laut Aru yang menyebabkan gugurnya pahlawan nasional Yos Sudarso di perairan Arafura, pulau ini sempat diganti namanya menjadi Pulau Yos Sudarso.
Namun, selain nama-nama tadi, masyarakat setempat juga kerap menjuluki dengan nama Pulau Dolok, yang artinya lumbung penghasil pertanian. Kini toponiminya lebih dikenal sebagai Pulau Kolepom.
Perairan pulau ini merupakan rumah bagi spesies-spesies yang menopang ketahanan pangan dan sumber mata pencaharian masyarakat. Kawasan ini juga merupakan habitat bagi ikan kakap putih, udang, dan ikan pelagis. Selain itu spesies langka yang dilindungi seperti pari gergaji. Perairannya menjadi hunian tiga spesies pari gergaji yang meliputi Anoxypristis cuspidata, Pristis clavate, dan Pristis pristis.
Pesisirnya ditumbuhi beberapa jenis mangrove, yang tersebar dari pesisir barat sampai selatan. Kita bisa menjumpai mangrove jenis Soneratia alba, Avicenia sp., Rhizopara sp., Bruguera sp. dan Xylocarpus sp. Selain mangrove, di pulau ini juga terdapat vegetasi nipah (Nypa fructicans), yang tumbuh berkelompok umumnya di sebelah timur.
Pada 5 januari 2023, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Sakti Wahyu Trenggono, secara resmi tetapkan kawasan konservasi di perairan Pulau Kolepom, sebagai kawasan konservasi perairan lewat Keputusan Menteri Nomor 5 Tahun 2023.
Penetapan ini menambah kawasan konservasi baru di timur Indonesia, sekaligus menjadikan Pulau Kolepom sebagai kawasan konservasi pertama di perairan Papua Selatan. Kebijakan ini turut mendukung salah satu program prioritas pembangunan berbasis ekonomi biru, yakni memperluas wilayah konservasi dengan target 30 persen dari total luas laut Indonesia.
Kawasan konservasi di Perairan Kolepom memiliki luas 356,3 ribu hektare. Terdapat tiga zona pembagian, yaitu zona inti seluas 35,4 ribu hektare, zona pemanfaatan terbatas seluas 286,6 ribu hektare, dan zona lain sesuai peruntukan kawasan seluas 34,3 ribu hektare.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Victor Gustaaf Manoppo menegaskan, "Target kawasan konservasi Kolepom yakni habitat ikan kakap putih, ikan gulama, pari gergaji, dan udang penaeid.”
Inisasi kawasan ini telah dirintis sejak tiga tahun silam, ketika Gubernur Papua meratifikasi perairan Pulau Kolepom sebagai kawasan konservasi perairan untuk melindungi habitat penting perikanan demersal dan spesies dilindungi di pulau ini.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua, Iman Djuniawal, menjelaskan bahwa penetapan ini merupakan proses panjang yang telah diupayakan secara kolaboratif. Gugus tugas ini dipimpin oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Papua dan didukung oleh unit kerja KKP; universitas setempat; perwakilan tokoh masyarakat dari tiga kabupaten: Kimaam, Waan dan Tabonji; dan proyek Arafura and Timor Seas Ecosystem Action fase 2 (ATSEA-2).
“Kawasan konservasi ini memiliki beragam fungsi penting. Mulai dari menata pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan melalui perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, hingga membatasi kegiatan yang merusak ekosistem dan biota yang ada di dalamnya,” papar Iman.
Menurutnya, kawasan konservasi akan meningkatkan potensi ekonomi, budaya, wisata, dan sumber daya alam lainnya yang secara langsung pun akan meningkatkan perekonomi dan taraf hidup masyarakat di sekeliling kawasan.
“Penetapan ini juga akan menata pemanfaatan gelembung ikan yang menjadi primadona, aktivitas penangkapan ikan dan udang, pemanfaatan mangrove serta menata habitat, ekosistem, spesies ikan, dan sumber daya alam lainnya," demikian ujar Iman. "Sehingga harapannya, pengelolaan kawasan konservasi oleh pemprov Papua Selatan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”
Leluhur orang Kolepom
"Orang-orang Kimaam selama berabad-abad hidup dalam kondisi yang unik, yaitu di tengah-tengah air dan daerah berlumpur," tulis Izak Resubun. "Mereka harus membuat pulau sebelum membangun rumah dan kebun."
Pemaparan itu merupakan bagian penelitiannya yang bertajuk "Beberapa Data Etnografis Manusia dan Pulau Kimaam, di Pantai Selatan Papua", yang terbit di Limen, Jurnal Agama dan Kebudayaan, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur di Jayapura.
Resubun menambahkan, "Penduduk asli ini telah dipindahkan oleh bekas pemerintah kolonial Belanda dan Gereja Katolik, setelah menunggu cukup lama, ke tanah yang lebih tinggi di sepanjang jalan Marianna."
Laman Direktori Pulau-pulau Kecil Indonesia yang dihimpun Kementerian Kelautan dan Perikanan menjelaskan, semenjak ajakan ke daratan oleh misionaris itulah masyarakat berpindah dari rawa ke daratan. Kemudian mereka membangun Kampung Kimaam. Toponiminya merujuk pada khima-khima, bahasa adat setempat yang berarti tempat persinggahan.
Menurut catatan Resubun, penghuni pulau ini dijuluki Bob Anim oleh orang Marind, yang berarti orang lumpur, atau juga dinamai Kolepom Anim, orang Kolepom.
Menurut tradisi lisan warga Desa Kladar, seperti yang diungkap Resubun dalam penelitiannya, leluhur mereka berasal dari Australia yang menyeberang ke Papua. Sesampai di Papua mereka berkelana ke beberapa tempat.
"Pada suatu saat pemimpin mereka, Weraka, pergi berburu dan ia bertemu dengan seekor rusa. Ia ingin memanah binatang tersebut, tetapi tidak berhasil karena rusa itu terus berlari ke arah selatan sampai di wilayah Kondo, dekat Kota Merauke. Ia berpendapat bahwa tempat itu layak untuk dihuni, maka ia kembali ke kelompoknya dan mengajak mereka berpindah ke daerah sekitar Kondo," tulis Resubun.
"Tetapi," sambungnya, "mereka harus berpindah lagi karena takut akan kelompok-kelompok lain, terutama akibat bunyi yang ditimbulkan oleh ledakan bambu. Perpindahan ini dipimpin oleh Weraka muda, karena Weraka tua telah meninggal dunia."
Selanjutnya mereka berkelana menyusuri sepanjang pantai selatan. Sampai tiba di suatu tempat yang kini disebut Bibikem, toponimi satu desa di pantai selatan Papua. Kemudian mereka menyeberang ke Pulau Kimaam, demikian kisah Resubun, lalu terus bergerak ke arah selatan dan tiba di daerah yag dikenal dengan nama Karapdikrama, dekat Sungai Mooi.
Baca Juga: Pusparagam Wasur: Kisah Pelestarian yang Mengakar pada Budaya
Baca Juga: Peneliti Australlia Menemukan Spesies Baru Kanguru Raksasa di Papua
Baca Juga: Melacak Surga Pari Manta di Rajaampat: Yef Nabi Kecil sampai Arborek
Baca Juga: Spesies Baru Burung Berrypecker Ditemukan di Kaimana, Papua Barat
"Di sini kelompok itu terbagi dua, yang satu berjalan terus ke arah selatan dan menjadi leluhur dari penduduk Desa Kladar," ungkapnya, "sedangkan yang lain berbalik ke arah utara."
Menurut kisahnya, "Penghuni Desa Kladar merupakan petani yang handal dan hasil pertanian mereka amat memuaskan, sehingga mereka mengundang penduduk desa tetangga untuk menghadiri acara syukuran mereka. Para tamu terkagum-kagum dengan hasil kebun orang Kladar, lalu mereka mengusir tuan rumah dengan tipu muslihat dan menguasai desa. Penduduk asli berpindah ke desa Kladar yang sekarang ini masih dihuni. Mereka ini terdiri dari klan Awi, Buer, Mawen dan Tumbaima."
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Penetapan kawasan konservasi ini turut berkontribusi pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs). Target itu sevar nomor 14 tentang Ekosistem Lautan—melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudra untuk pembangunan berkelanjutan—sekaligus target konservasi laut global.
“Proyek ATSEA-2 berkontribusi dengan memberikan fasilitasi peningkatan kapasitas dan kesadaran masyarakat, pendampingan dalam konsultasi publik serta teknis untuk penyusunan dokumen rencana zonasi kawasan konservasi ini telah dilakukan,” demikian ujar National Project Coordinator Proyek ATSEA-2, Dwi Ariyoga. Proyek ini merupakan kerja sama Pusat Riset Perikanan KKP dengan UNDP Indonesia, yang telah memberikan dukungan teknis dalam proses penetapan kawasan ini melalui berbagai rangkaian kegiatan.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR