Pagi itu ternyata Datuk, panggilan dari Haji Abdurrahman, datang ke kelong. Walau sudah berusia 78 tahun, Datuk pantang berdiam diri. Ia mengaku di masa mudanya pernah mendayung perahu bolak-balik dari Kampung Tua Bakau Serip sampai ke Singapura untuk berbarter bahan makanan. Dulu, katanya, tidak perlu paspor buat sampai ke pulau seberang itu.
Kami kembali ke homestay dan siap bersantap dengan buras dan gogos. Jangan terheran dengan makanan khas Bugis yang disantap di area yang mestinya Melayu ini, karena Datuk memang berdarah Bugis. Ia lahir, tumbuh, dan menua di Kampung Tua Bakau Serip ini.
“Di sini, atraksi panjat pohon kelapa diminati wisatawan asing, loh,” ujar Geri. Saya mengangguk. Dulu juga saya terpesona melihat atraksi mengupas kelapa hingga menjadi bulat sempurna seperti bola di Melaka, Malaysia. Sesuatu yang tak biasa memang selalu menarik hati.
Geri tidak sendirian melestarikan bakau. Istrinya, Hasnindar, Ketua Pokdarwis Pandang Tak Jemu punya andil dalam mengembangkan ekowisata.
Ia menginisiasi sanggar tari dengan nama sama, mendorong anak-anak di Kampung Tua Bakau Serip tak hanya melestarikan bakau, tetapi juga tarian tradisional. Ia juga mendorong penarinya menciptakan berbagai gerakan baru.
Hasnindar mengantarkan saya melihat kios suvenir. Beberapa buah tangan warga lokal terjejer rapi, dari rajutan kain hingga hiasan kerang berbagai ukuran bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh. “Ini semua dibuat kita sendiri.”
Baca Juga: Singgah dan Mencecapi Legenda Kuliner Kopi di Tanjungbalai Riau
Baca Juga: Sejenak Mencecapi Kuliner Kedai Kopi Botan Tanjungbalai nan Melegenda
Baca Juga: Sejenak Cecapi Sajian Kuliner di Kedai Prata Tertua Tanjungpinang
Baca Juga: Jelajah Pusat Kuliner Tanjungpinang Legendaris Akau Potong Lembu
Melibatkan warga membuat suvenir dan merasakan dampak ekonomi menjadi salah satu cara meningkatkan partisipasi warga menjaga bakau. Cara lainnya adalah dengan mengajak warga dan wisatawan menanam mangrove. Sore itu kami menanam bibit mangrove dari keluarga Rhizophora yang sudah berusia dua tahun.
Dengan semangat, saya menggali lumpur dan pasir sekitar 20 sentimeter sebelum menyobek polibag hitam dan mengubur akarnya. “Maaf ya, mbak Ellen dan bang Peri saya kerjain menggali lumpurnya sendiri,” ujar Geri. “Biar rasa memilikinya lebih muncul.”
Geri benar. Ini pohon mangrove pertama yang saya tanam dengan tangan saya sendiri. Ada rasa bangga menyusup kalbu. Bahkan ada janji di hati untuk mampir lagi, melihat si bakau tumbuh besar dan kokoh, juga janji menanam lagi. Lain waktu, mungkin perpat yang saya pilih.
“Omong-omong, Bang Geri, Kenapa namanya Pandang Tak Jemu ya?”
Tersenyum lebar, Geri menjawab, “Salah satunya karena nama ibu mertua saya, Hajah Pandang.”
Oalah, ternyata.
Pemilihan nama destinasi wisata dari permainan kata yang cerdas! Tentunya, saya juga bisa menebak alasan lainnya: karena belajar tentang bakau dan ekosistemnya tidaklah membuat jemu.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR