Ellen Kusuma, pejalan yang menggemari masak dan makan, berdomisili di Jakarta.
Nationalgeographic.co.id—Angin semilir mengelus wajah. Mata terpejam, napas diambil dalam-dalam, lagi, dan lagi. Segar sekali rasanya.
Saya, Yuli Seperi—fotografer—dan Gari Dafit Semet—pengelola Ekowisata Mangrove Pandang Tak Jemu di Kampung Tua Bakau Serip, Kecamatan Nongsa, Batam. Kami berada di pengujung pelantar kayu di bagian kawasan ekowisata ini.
Sebuah daun jatuh ke pangkuan.
Saya ambil dan memperhatikannya. Daunnya menguning dengan semburat hijau. “Bang Geri,” saya mengangkat daun tadi, “Ini daun perpat ya?”
Geri—panggilan Gari Dafat Semit—menjawab, “Betul. Ini daun perpat. Ini juga bakau, Mbak.” Ia menunjuk pohon tua di hadapan pelantar, “Ini usianya mungkin yang paling tua di sini. Ada mungkin ratusan tahun.”
Saya melirik pohon itu.Kayunya terlihat berumur dengan guratan di kulitnya bagai keriput pada wajah manusia.
“Buah perpat ini bisa dibikin sirup, Mbak,” terang Geri, “Tapi kita harus saingan dengan monyet untuk dapat buahnya.”
Saya tergelak mendengarnya. Tadi pun kami sempat berpapasan dengan gerombolan monyet. Tidak hanya binatang primata satu itu, ada banyak fauna di dalam ekosistem bakau Pandang Tak Jemu.
Yuli Seperi pun, sebagai salah satu pecinta burung, menemukan beberapa kicauan burung yang khas selama kami berada di dalam kawasan bakau.
Saya melihat beberapa binatang menarik, seperti ikan tembakul yang wujudnya seperti berudu berukuran besar dengan empat kaki, kepiting kecil yang naik hingga ke pelantar. Ada juga lokan—sejenis kerang yang ada di rawa. Geri menyampaikan, bisa saja berburu lokan untuk nantinya dimakan bersama-sama.
Beragamnya fauna liar menunjukkan bahwa ekosistem bakau yang ada di Pandang Tak Jemu ini sehat dan punya banyak manfaat. “Dulu masyarakat buang sampah di kawasan mangrove ini, di pintu masuk pelantar yang tadi kita lewati itu. Pelan-pelan, kita edukasi untuk tidak buang sampah lagi di sini. Alhamdulillah, sekarang warga sudah banyak yang mengerti.”
Geri dan beberapa komunitas masyarakat memang berupaya melestarikan hutan bakau, mengedukasi masyarakat setempat dan wisatawan yang datang adalah bagian dari upayanya.
“Supaya bisa mandiri ini kita coba kelola jadi destinasi wisata. Jadi, keuntungan yang didapat akan dipakai kembali untuk membiayai operasional menjaga hutan bakau,” ujar lelaki berusia 41 tahun yang menjadi pengurus Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pandang Tak Jemu itu.
Geri juga menjadi penanggung jawab Desa Wisata Kampung Tua Bakau Serip yang masuk dalam peringkat 50 besar Desa Wisata Terbaik Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Suara azan subuh itu lantang dari satu-satunya masjid yang ada di Bakau Serip. Saya segera bergegas menyiapkan diri. Kantuk yang masih menggantung di pelupuk mata perlahan lenyap digantikan rasa semangat untuk melakukan kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya.
Ketika membuka pintu kamar dan melihat tulisan “Rhizophora stylosa” di daun pintu, saya tersenyum. Alih-alih menomori kamar, menamai kamar tamu dengan nama latin beragam mangrove ialah cara cerdas mengedukasi wisatawan.
Kami akan ke kelong—perangkap ikan di tengah laut—bersama Zulkarnain, adik ipar Geri. Kelong itu milik ayahnya, Haji Abdurrahman, pemilik homestay yang kami tinggali.
Sesampai di sana, Zulkarnain membersih kan kelong dari sampah plastik dan dedaunan yang terperangkap, kemudian ia menyerok ikan-ikan yang jadi tangkapan hari itu ke dalam ember bekas cat. Tampak beberapa ikan lebam berukuran kecil—atau ikan baronang.
Pagi itu ternyata Datuk, panggilan dari Haji Abdurrahman, datang ke kelong. Walau sudah berusia 78 tahun, Datuk pantang berdiam diri. Ia mengaku di masa mudanya pernah mendayung perahu bolak-balik dari Kampung Tua Bakau Serip sampai ke Singapura untuk berbarter bahan makanan. Dulu, katanya, tidak perlu paspor buat sampai ke pulau seberang itu.
Kami kembali ke homestay dan siap bersantap dengan buras dan gogos. Jangan terheran dengan makanan khas Bugis yang disantap di area yang mestinya Melayu ini, karena Datuk memang berdarah Bugis. Ia lahir, tumbuh, dan menua di Kampung Tua Bakau Serip ini.
“Di sini, atraksi panjat pohon kelapa diminati wisatawan asing, loh,” ujar Geri. Saya mengangguk. Dulu juga saya terpesona melihat atraksi mengupas kelapa hingga menjadi bulat sempurna seperti bola di Melaka, Malaysia. Sesuatu yang tak biasa memang selalu menarik hati.
Geri tidak sendirian melestarikan bakau. Istrinya, Hasnindar, Ketua Pokdarwis Pandang Tak Jemu punya andil dalam mengembangkan ekowisata.
Ia menginisiasi sanggar tari dengan nama sama, mendorong anak-anak di Kampung Tua Bakau Serip tak hanya melestarikan bakau, tetapi juga tarian tradisional. Ia juga mendorong penarinya menciptakan berbagai gerakan baru.
Hasnindar mengantarkan saya melihat kios suvenir. Beberapa buah tangan warga lokal terjejer rapi, dari rajutan kain hingga hiasan kerang berbagai ukuran bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh. “Ini semua dibuat kita sendiri.”
Baca Juga: Singgah dan Mencecapi Legenda Kuliner Kopi di Tanjungbalai Riau
Baca Juga: Sejenak Mencecapi Kuliner Kedai Kopi Botan Tanjungbalai nan Melegenda
Baca Juga: Sejenak Cecapi Sajian Kuliner di Kedai Prata Tertua Tanjungpinang
Baca Juga: Jelajah Pusat Kuliner Tanjungpinang Legendaris Akau Potong Lembu
Melibatkan warga membuat suvenir dan merasakan dampak ekonomi menjadi salah satu cara meningkatkan partisipasi warga menjaga bakau. Cara lainnya adalah dengan mengajak warga dan wisatawan menanam mangrove. Sore itu kami menanam bibit mangrove dari keluarga Rhizophora yang sudah berusia dua tahun.
Dengan semangat, saya menggali lumpur dan pasir sekitar 20 sentimeter sebelum menyobek polibag hitam dan mengubur akarnya. “Maaf ya, mbak Ellen dan bang Peri saya kerjain menggali lumpurnya sendiri,” ujar Geri. “Biar rasa memilikinya lebih muncul.”
Geri benar. Ini pohon mangrove pertama yang saya tanam dengan tangan saya sendiri. Ada rasa bangga menyusup kalbu. Bahkan ada janji di hati untuk mampir lagi, melihat si bakau tumbuh besar dan kokoh, juga janji menanam lagi. Lain waktu, mungkin perpat yang saya pilih.
“Omong-omong, Bang Geri, Kenapa namanya Pandang Tak Jemu ya?”
Tersenyum lebar, Geri menjawab, “Salah satunya karena nama ibu mertua saya, Hajah Pandang.”
Oalah, ternyata.
Pemilihan nama destinasi wisata dari permainan kata yang cerdas! Tentunya, saya juga bisa menebak alasan lainnya: karena belajar tentang bakau dan ekosistemnya tidaklah membuat jemu.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR