Ellen Kusuma, pejalan yang menggemari masak dan makan, berdomisili di Jakarta.
Nationalgeographic.co.id—Angin semilir mengelus wajah. Mata terpejam, napas diambil dalam-dalam, lagi, dan lagi. Segar sekali rasanya.
Saya, Yuli Seperi—fotografer—dan Gari Dafit Semet—pengelola Ekowisata Mangrove Pandang Tak Jemu di Kampung Tua Bakau Serip, Kecamatan Nongsa, Batam. Kami berada di pengujung pelantar kayu di bagian kawasan ekowisata ini.
Sebuah daun jatuh ke pangkuan.
Saya ambil dan memperhatikannya. Daunnya menguning dengan semburat hijau. “Bang Geri,” saya mengangkat daun tadi, “Ini daun perpat ya?”
Geri—panggilan Gari Dafat Semit—menjawab, “Betul. Ini daun perpat. Ini juga bakau, Mbak.” Ia menunjuk pohon tua di hadapan pelantar, “Ini usianya mungkin yang paling tua di sini. Ada mungkin ratusan tahun.”
Saya melirik pohon itu.Kayunya terlihat berumur dengan guratan di kulitnya bagai keriput pada wajah manusia.
“Buah perpat ini bisa dibikin sirup, Mbak,” terang Geri, “Tapi kita harus saingan dengan monyet untuk dapat buahnya.”
Saya tergelak mendengarnya. Tadi pun kami sempat berpapasan dengan gerombolan monyet. Tidak hanya binatang primata satu itu, ada banyak fauna di dalam ekosistem bakau Pandang Tak Jemu.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR