Yuli Seperi pun, sebagai salah satu pecinta burung, menemukan beberapa kicauan burung yang khas selama kami berada di dalam kawasan bakau.
Saya melihat beberapa binatang menarik, seperti ikan tembakul yang wujudnya seperti berudu berukuran besar dengan empat kaki, kepiting kecil yang naik hingga ke pelantar. Ada juga lokan—sejenis kerang yang ada di rawa. Geri menyampaikan, bisa saja berburu lokan untuk nantinya dimakan bersama-sama.
Beragamnya fauna liar menunjukkan bahwa ekosistem bakau yang ada di Pandang Tak Jemu ini sehat dan punya banyak manfaat. “Dulu masyarakat buang sampah di kawasan mangrove ini, di pintu masuk pelantar yang tadi kita lewati itu. Pelan-pelan, kita edukasi untuk tidak buang sampah lagi di sini. Alhamdulillah, sekarang warga sudah banyak yang mengerti.”
Geri dan beberapa komunitas masyarakat memang berupaya melestarikan hutan bakau, mengedukasi masyarakat setempat dan wisatawan yang datang adalah bagian dari upayanya.
“Supaya bisa mandiri ini kita coba kelola jadi destinasi wisata. Jadi, keuntungan yang didapat akan dipakai kembali untuk membiayai operasional menjaga hutan bakau,” ujar lelaki berusia 41 tahun yang menjadi pengurus Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pandang Tak Jemu itu.
Geri juga menjadi penanggung jawab Desa Wisata Kampung Tua Bakau Serip yang masuk dalam peringkat 50 besar Desa Wisata Terbaik Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Suara azan subuh itu lantang dari satu-satunya masjid yang ada di Bakau Serip. Saya segera bergegas menyiapkan diri. Kantuk yang masih menggantung di pelupuk mata perlahan lenyap digantikan rasa semangat untuk melakukan kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya.
Ketika membuka pintu kamar dan melihat tulisan “Rhizophora stylosa” di daun pintu, saya tersenyum. Alih-alih menomori kamar, menamai kamar tamu dengan nama latin beragam mangrove ialah cara cerdas mengedukasi wisatawan.
Kami akan ke kelong—perangkap ikan di tengah laut—bersama Zulkarnain, adik ipar Geri. Kelong itu milik ayahnya, Haji Abdurrahman, pemilik homestay yang kami tinggali.
Sesampai di sana, Zulkarnain membersih kan kelong dari sampah plastik dan dedaunan yang terperangkap, kemudian ia menyerok ikan-ikan yang jadi tangkapan hari itu ke dalam ember bekas cat. Tampak beberapa ikan lebam berukuran kecil—atau ikan baronang.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR