Mereka memperhatikan bahwa, pada usia sekitar 28 hingga 30 hari, embrio kucing mengembangkan daerah kulit "tebal" dan "tipis".
Pada tahap perkembangan selanjutnya, kulit tebal dan tipis memunculkan folikel rambut yang menghasilkan berbagai jenis melanin, yaitu eumelanin untuk bulu gelap, dan pheomelanin untuk bulu terang.
Hebatnya, "mekanisme perkembangan yang bertanggung jawab untuk pola warna terjadi di awal perkembangan, sebelum folikel rambut terbentuk dan di dalam sel yang sebenarnya tidak membuat pigmen apa pun melainkan berkontribusi pada struktur folikel rambut," kata Barsh.
Melihat pola ini, tim memeriksa gen mana yang aktif mengarah ke perkembangan kulit tebal, untuk melihat apakah gen tertentu mengarahkan pembentukan pola tersebut.
Tim menemukan bahwa, pada embrio berusia 20 hari, beberapa gen yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan sel tiba-tiba menyala di kulit yang kemudian ditakdirkan untuk menebal dan memunculkan folikel penghasil bulu gelap.
Baca Juga: Dunia Hewan: Tersisa 150 Ekor, Kucing Besar Eropa Terancam Punah
Baca Juga: Kucing Pernah Menghilang Selama 7 Juta Tahun dari Amerika Utara
Baca Juga: Dunia Hewan: Otak kucing Menyusut dan Itu Semua Salah Manusia
Baca Juga: Berasal Dari Timur Tengah, Sejak Kapan Penjinakan Kucing Dimulai?
Temuan ini mendukung teori yang dikembangkan perintis komputasi Alan Turing pada 1950-an, Science Magazine melaporkan.
Turing mengusulkan bahwa pola periodik hewan, seperti kucing belang, muncul ketika molekul "aktivator" meningkatkan produksi molekul "penghambat", dan kedua molekul ini berbaur dalam jaringan yang sama.
"Pengamatan kami sampai saat ini hanya pada kucing domestik," kata Barsh.
"Sangat mungkin bahwa molekul dan mekanisme yang dipelajari pada kucing domestik berlaku untuk lebih dari 30 spesies kucing liar, tetapi kita perlu melakukan studi tambahan pada DNA kucing liar untuk mengetahuinya dengan pasti."
Di luar kucing liar, tim ingin mempelajari apakah mekanisme yang sama juga berlaku pada mamalia yang berkerabat jauh, seperti zebra dan jerapah.
Source | : | Live Science,Science,Nature Communications |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR