Nationalgeographic.co.id—Selama bertahun-tahun, program bantuan pangan pemerintah Indonesia dilakukan dengan mengirim karung beras ke desa-desa. Selanjutnya para pemimpin setempat membagikannya kepada penduduk miskin setiap bulannya.
Namun, mulai sekitar lima tahun lalu, pemerintah Indonesia mengubah itu. Alih-alih kantong beras, penerima bantuan dikirim kartu-kartu yang dapat digunakan untuk membeli makanan dalam jumlah setara di toko-toko yang ada di tempat masing-masing.
Model bantuan kartu-kartu dari pemerintah RI itu telah menarik perhatian ekonom Massachusetts Institute of Technology. Menurut mereka perubahan tersebut telah berdampak besar, praktik konvensional mendadak beralih menjadi digital.
Jutaan orang Indonesia dalam program tersebut mulai menerima jumlah total makanan yang ditujukan untuk mereka sebanyak 81 persen, menurut sebuah studi yang dipimpin oleh para ekonom MIT.
Di bawah sistem lama, sebaliknya, penerima bantuan yang tepat sasaran hanya 24 persen. Kemungkinannya, karena bantuan beras yang disalurkan dengan sistem lama tidak tepat sasaran dan justru ada banyak orang yang tidak memenuhi syarat malah menerima bantuan.
Kartu bantuan memberi orang miskin kemampuan untuk membeli makanan sendiri daripada bergantung pada pemerintah untuk mengirimkan beras kepada mereka.
“Apa yang dilakukan program secara efektif, dengan beralih dari membagikan kantong makanan menjadi membagikan kartu debit digital dengan nama Anda di atasnya, berarti orang mendapatkan jumlah penuh yang berhak mereka dapatkan,” kata Benjamin Olken.
Olken adalah seorang ekonom MIT dan rekan penulis makalah baru yang merinci hasil penelitian.
“Itulah dampak besar dari peralihan tersebut, dan itu mengarah pada pengurangan kemiskinan yang cukup besar.”
Memang, untuk 15 persen rumah tangga termiskin saat studi dimulai, beralih ke kartu debit mengurangi tingkat kemiskinan secara keseluruhan sebesar 20 persen.
Para peneliti menemukan ini dengan melakukan studi terkontrol acak, membandingkan hasil dari berbagai metode sementara pemerintah menerapkan program baru secara bertahap.
“Ternyata efeknya sangat besar,” kata Abhijit Banerjee, seorang ekonom MIT dan rekan penulis makalah lainnya.
“Ini adalah keuntungan melakukan uji coba terkontrol secara acak daripada duduk dan berspekulasi tentang kemungkinan hasil.”
Hasil studi tersebut telah diterbitkan di American Economic Review dengan judul “Electronic Food Vouchers: Evidence from an At-Scale Experiment in Indonesia."
Indonesia memulai program bantuan pangannya, yang disebut Rastra, sebelum perubahan terakhir, pada tahun 1998, menargetkan sekitar 15 juta rumah tangga.
Sebelum peralihan, rumah tangga tersebut seharusnya menerima satu karung beras 10 kg per bulan, sekitar 6,5 persen dari pendapatan yang dibutuhkan untuk naik di atas garis kemiskinan.
Namun, karena beras tampaknya cukup sering disalurkan ke rumah tangga yang relatif mampu, pada tahun 2017, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencoba sistem kartu.
Di toko-toko lingkungan, orang dapat menggunakan kartu mereka untuk membeli beras dan telur, dengan nilai yang setara dengan karung beras 10 kg.
Baca Juga: Melihat Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Pandemi Lewat Ekspor Impornya
Baca Juga: Berkolaborasi untuk Ekonomi Indonesia Jadi Lebih Baik
Baca Juga: Hilangnya Mangrove Dalam 20 Tahun Terakhir Karena Faktor Sosio-Ekonomi
Baca Juga: Urgensi Penerapan Konsep Bisnis Berkelanjutan pada Perusahaan di Indonesia
Selama peluncuran program baru, pemerintah Indonesia secara acak memilih 42 dari 105 kabupaten daerah untuk menerima program tersebut pada tahun 2018, setahun sebelum kabupaten lain dikonversi.
Ini menciptakan eksperimen dunia nyata karena hasil simultan dari sistem baru dan lama dapat dibandingkan dalam keadaan yang serupa.
Para pejabat Indonesia sendiri menyadari bahwa hal ini menciptakan potensi untuk penelitian yang teliti, dan mendekati para ilmuwan tentang hal itu.
“Mereka menyadari bahwa peluncuran bertahap seperti ini merupakan kesempatan untuk membangun pengacakan ke dalam rancangan kebijakan,” kata Olken.
Semua rekan penulis telah melakukan penelitian lapangan yang luas di bidang ekonomi pembangunan di Indonesia
“Ini adalah kisah yang sangat luar biasa tentang bagaimana peneliti dan pemerintah dapat bekerja sama untuk membangun evaluasi yang ketat ke dalam program,” tambah Olken.
Source | : | MIT News,American Economic Review |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR