Ia menyebut bahwa budaya antre telah melahirkan sikap sabar, memupuknya sehingga menghindarkan adanya chaos dalam lingkup sosial. Antre membangun kesadaran dan kesabaran dalam kehidupan sehari-hari.
Hermanu Joebagio (alm.), seorang profesor dan Guru Besar Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta turut menyebut dalam satu mata kuliahnya kepada saya bahwa adanya budaya antre sebagai suatu kearifan yang dapat mewujudkan human well-being sebagaimana teori psikologi Ryff.
Baca Juga: Perjuangan Santri Batu Ilek Melawan Determinasi Pemerintah Kolonial
Baca Juga: Tragedi Lawu 1987, Merenggut Nyawa 15 Santri dan 1 Ustaz Al Mukmin
Baca Juga: Dari Santri hingga Piala Citra, Keterlibatan Gus Dur di Dunia Film
Baca Juga: Santri-santri Bengal Zaman Kolonial
Tentunya sikap moralitas dalam mengantre telah menempa seseorang untuk menjadi individu yang memiliki ketenangan atas kendali diri hingga menumbuhkan toleransi dan sikap pengertian atas orang lain.
Latifa Diah Mardiana menuliskan dalam skripsinya kepada UNY berjudul Meningkatkan Budaya Tertib Antre Pada Anak Kelompok B Melalui Teknik Modeling di TK Negeri Pembina Sungai Betung Bengkayang (2019), tentang kajian budaya antre.
Ia menafsirkan budaya antre sebagai budaya moral yang tidak hanya bersifat equality (kesetaraan), melainkan juga bersifat equity (penghargaan).
Mengantre menumbuhkan rasa sabar sehingga sesuatu halnya tidak selalu didapatkan dengan cepat, mengantre adalah bagian dari proses. Maka di antara kehidupan serba antre di pesantren telah menjadi satu landasan filosofis untuk memupuk sikap sabar.
Sejatinya, mengantre bagi santri adalah proses mereka untuk tumbuh menjadi dewasa dengan proses yang dilaluinya. Sebagaimana anekdot yang pernah saya dengar, "santri" akronim dari "sabar ngantri."
Source | : | Digital Library UNY |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR