Nationalgeographic.co.id—"Seorang Saracen, bernama Achmac (Ahmad), seorang pria yang licik dan berani terhadap [Kubilai] Khan Yang Agung melampaui yang lain ... Ditemukan, bahwa ia dengan mantra yang begitu memesona Yang Mulia untuk mewajibkan dia untuk mendengarkan, dan memuji apa pun yang ia wakili."
Itulah tulisan catatan perjalanan penjelajah Venesia Marco Polo ketika menyambangi Kekaisaran Tiongkok semasa transisi Dinasti Song ke Yuan. Dalam catatan perjalanannya, ia bertemu dengan para penguasa Kekaisaran Tiongkok termasuk Kubilai Khan.
Dia menyebut bahwa Kekaisaran Tiongkok saat itu memiliki beberapa pejabat muslim. Salah satunya adalah Ahmad Fanakati yang sangat memengaruhi Kaisar Kubilai Khan, dan Marco Polo menulis namanya sebagai Achmac.
Maklum, Kekaisaran Tiongkok pada masa Dinasti Yuan memiliki beberapa pejabat politik dari luar etnis Tionghoa. Pasalnya, dalam sejarahnya, Bangsa Mongol menaklukkan banyak kawasan di Asia Timur dan Tengah, termasuk Persia.
Sejak Genghis Khan berkuasa, keterbukaan sangat lebar bagi etnis untuk masuk dan memeluk agama mana pun. Kubilai Khan pun melanjutkan keterbukaan tersebut dalam pemerintahannya di Dinasti Yuan, sebagai Kekaisaran Tiongkok yang baru.
Sementara itu, Ahmad Fanakati berasal dari Banakat, sebuah kota lawas dekat kota Khujand, Tajikistan. Tidak diketahui kapan tepatnya Ahmad lahir. Kota Banakat sebelumnya merupakan kekuasaan Qara Khitai atau dulu disebut Liao Barat.
"Ahmad Fanakati yang menjadi terkenal sebagai kepala sebagai kepala administrator Dinasti Yuan di bawah Khubilai Khan," tulis George Lane, ahli sejarah tentang Timur Tengah dan Asia sekaligus pengajar di School of Oriental and African Studies, Inggris.
"Dan [Ahmad] terdaftar dalam sejarah Dinasti Yuan sebagai 'Menteri Penjahat,' asal negeri Qara Khitai yang memeluk penyerbu Mongol di bawah Noyan Jebe sebagai pembebas," lanjutnya dalam tulisan berjudul "Whose Secret Intent?" dari kumpulan esai bertajuk Eurasian Influences on Yuan China.
Kariernya bermula dipekerjakan oleh saudara ipar Genghis Khan bernama Alchin Noyan. Lalu bertugas membantu istri Kubilai Khan. Pada 1247, karirnya menjabat sebagai penasihat keuangan Kubilai Khan.
Lalu, menurut catatan Marco Polo, Ahmad mendapat jabatan tertinggi dan berkuasa penuh di kantor keuangan Kekaisaran Tiongkok sejak 1264. Jabatan ini tentunya setara dengan menteri keuangan hari ini.
Selama ia menjabat, Kekaisaran Tiongkok memonopoli perdagangan garam, bahkan menjadi salah satu komoditas penyumbang terbesar. Dia berhubungan baik dengan bangsa luar Tiongkok, terutama kalangan Muslim dari Asia Tengah.
Meski demikian, sistem pajak yang diberlakukan dipandang buruk, terang Lane. Menurut masyarakat di Kekaisaran Tiongkok, pajak dioperasikan dengan cara yang berbeda dari sistem tradisional.
Ternyata, Ahmad sebagai pengelola keuangan Kekaisaran Tiongkok, menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan jabatan itu sering dilakukan oleh pejabat Muslim lainnya di dalam Dinasti Yuan.
Baca Juga: Seperti Apa Keunikan Tes Mengemudi di Era Kekaisaran Tiongkok?
Baca Juga: Pemberontakan Serban Merah: Akhir Kekaisaran Tiongkok Era Dinasti Yuan
Baca Juga: Kisah Toghon Temür, Pangeran Terbuang yang Jadi Kaisar Tiongkok
Baca Juga: Siapakah Genghis Khan, Penakluk dan Pendiri Kekaisaran Mongol?
"Pejabat Muslim lainnya, seperti Ahmad yang terkenal, yang juga berasal dari wilayah Transoxiana, mendapatkan kepercayaan penuh dari Kubilai tetapi menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk mengumpulkan kekayaan pribadi," tulis sejarawan The College of New Jersey dalam buku The Silk Road in World History.
Kegemaran mengumpulkan harta dari penyalahgunaan jabatan ini, Ahmad selalu selamat dari berbagai penyelidikan Kekaisaran Yuan. Informasi harta kekayaan dan kriminalnya justru baru terungkap ketia ia dibunuh oleh sekelompok pemberontak tahun 1282.
Kaisar Kubilai Khan baru mengetahui penyalahgunaan jabatan Ahmad, setelah mendapatkan masukan tentang korupsi dari musuh politiknya. Setelah mengetahui, Kubilai Khan bahkan memerintahkan agar jenazahnya dimakan anjing, lalu tulang belulangnya dihancurkan berkeping-keping dengan kereta roda.
Akhir tragis ini juga dicatat oleh Marco Polo. Sebab, ia selalu hadir di Khanbaliq, ibukota Mongol selama Ahmad menjabat sebagai menteri keuangan hingga dibunuh.
Source | : | Berbagai sumber |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR