Nama bilalu diambil dari nama sebuah cangkang yang biasa ditemukan sebagai suvenir di toko-toko pinggir pantai. Bilalu kecil sering dibuat sebagai biji congklak atau tirai, sedangkan bilalu besar sering menjadi pajangan atau dirangkai membentuk model kura-kura.
Selain membuat kerajinan kerang, Pak Rendy juga ahli membuat model miniatur kapal. Mulai dari kapal layar, kapal feri, hingga kapal pinisi beragam ukuran. Kreativitas dan kemahirannya ini membawa Rendy berkeliling Indonesia sebagai pengisi tetap pameran-pameran pariwisata kreatif, khususnya pada ajang International Handicraft Trade Fair (INACRAFT).
Sayang, seiring berjalannya waktu, anggota kelompok Bilalu mulai mundur hingga akhirnya kelompok ini tercerai berai. Kondisi ini cukup disesalkan karena Pak Rendy percaya bahwa pariwisata merupakan “jantung” penggerak ekonomi di pulau ini, sedangkan pariwisata tidak akan berkembang tanpa adanya kreativitas.
Baca Juga: Kontaminasi Parasetamol di Teluk Jakarta, Apa Dampak Bagi Biota Laut?
Baca Juga: Pengamatan Terbaru: Masih Ada Burung Terancam Punah di Teluk Jakarta
Baca Juga: Bangkai-Bangkai Kapal Kepulauan Seribu, Dunia Lain yang Masyhur
Baca Juga: Studi: Sampah Plastik di Teluk Jakarta Didominasi Oleh Styrofoam
Kini, hanya Rendy dan toko suvenir Bilalu-nya yang masih bertahan. Ia aktif melahirkan karya-karya baru sebagai buah tangan wisatawan yang datang berkunjung ke Pulau Untung Jawa. Selain menjadi etalase kriya hasil olahan tangan dinginnya, toko suvenir ini juga menyediakan tempat bagi warga yang ingin menitipkan jualannya. Kebanyakan adalah produk buah tangan seperti kripik sukun dan manisan ceremai.
Bila wisatawan datang dan merapat di dermaga utama, berjalanlah hingga pintu masuk pulau. Tepat di seberang pintu masuk, terpampang dengan jelas papan nama bertuliskan “Bilalu Art Souvenir” berlogo kerang dengan campuran warna putih dan biru langit.
“Saya tidak akan bisa sampai seperti ini tanpa istri saya,” ujar Rendy sembari menatap mata Siti Aisyah. Istrinya hanya tersenyum tanpa menambahkan apapun.
Perjuangan pasangan ini mendirikan Bilalu bukanlah hal yang mudah. Dahulu, tuduhan miring dan cibiran masyarakat sempat mereka terima. Masa-masa itu datang disaat pertama kali mereka menemukan cara memanfaatkan cangkang kerang menjadi suvenir.
Siti Aisyah terkejut saat cangkang kerang yang mereka kumpulkan dibeli dengan harga tinggi oleh turis asing.
“Selama kreativitas kita hidup, apapun bisa dijual di pulau ini,” ungkap Siti Aisyah. Terbukti, dari kreativitas ini, tiga buah hati berhasil mereka besarkan.
Hari semakin sore. Dari kedai makan Bilalu, kami bisa melihat langit daratan seberang yang menghitam. Warga pulau menyebut "darat" untuk merujuk DKI Jakarta.
Angin semilir perlahan berubah menjadi badai yang menerbangkan beberapa kursi dan jeriken plastik yang berjajar di pinggir kedai. Rendy dan istrinya bergegas mempersiapkan kedatangan hujan besar. Seolah mereka paham apa yang akan hadir menghampiri selanjutnya.
Benar saja. Tidak lama kemudian, kami terpaksa menghentikan perbincangan dan berteduh karena terjebak di tengah hantaman hujan deras disertai angin kencang.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR