Oleh Dani Kosasih
Nationalgeographic.co.id—Alkisah, tidak lama setelah Indonesia merdeka, tepatnya malam hari, di bibir pantai Pulau Rotterdam, terdampar dua tentara Dai Nippon yang telah kalah perang. Mereka berseragam dan bersenjata. Senapan laras panjang dengan bayonet bersandar di punggung mereka.
Waliadim, bersama teman-temannya, tidak sengaja menemukan dua tentara Dai Nippon. Tanpa pikir panjang, dua tentara itu dibopong dan dibawa menjauh dari bibir pantai.
Musyawarah warga dilakukan untuk memutuskan, apa yang akan mereka lakukan pada dua tentara ini. Akhirnya, mufakat diambil. Mayoritas warga sepakat membuang mereka jauh dari pulau.
Waliadim bersama beberapa pemuda, dengan menggunakan kapal kayu kecil, membawa dua tentara ini menyeberang jauh hingga Bekasi. Lalu, mereka meninggalkan keduan tentara Jepang itu di sana.
“Kami buang jauh karena kalau tidak, habis mereka oleh tentara Belanda,” ungkapnya.
Pulau Rotterdam kini telah tenggelam. Seluruh penduduknya mengungsi ke Pulau Amitterdam, yang sekarang bernama Pulau Untung Jawa. Pulau ini memiliki kisah panjang tentang sejarah pertahanan militer pemerintah kolonial hingga penguasaan penjajah Jepang.
Kini, Pulau Untung Jawa telah menjadi Desa Wisata. Di pulau inilah saya merapat. Selama empat hari, saya dan fotografer Toto Santiko Budi menghabiskan masa dengan berkeliling pulau, mendengarkan cerita, dan menikmati kekayaan wisatanya.
Kami menumpang kapal Black Pearl dari dermaga Marina, Ancol, Jakarta Utara. Seluruh kursi penumpang penuh terisi. Saya duduk di lantai dua, tepat di belakang kursi pengemudi.
Nama kapal ini mengingatkan saya pada kapal Kapten Jack Sparrow dalam film Pirates of Carribean. Black Pearl, dalam film itu, digambarkan kapal abad ke-18 yang berawarna hitam—layarnya juga demikian.
Selama kurang lebih 45 menit perjalanan, kapal kami menyeberang melewati empat pulau tidak berpenghuni: Pulau Onrust, Pulau Bidadari, Pulau Kelor, dan Pulau Cipir, hingga akhirnya merapat di dermaga Dinas Perhubungan Pulau Untung Jawa.
Di dermaga, Black Pearl merapat sejenak dan menurunkan lima penumpang, termasuk saya dan Toto. Kemudian kapal itu melaju kembali menuju pulau-pulau di gugusan Kepulauan Seribu lainnya.
Kami datang bukan di hari libur, sehingga, tidak banyak wisatawan yang berkunjung.
“Bang Dani, ya?” Seorang pemuda menyapa saya dan Toto. Dia adalah Nurkholis. Penduduk pulau memanggilnya Olis. Dialah yang akan menjadi pemandu saya dan Toto selama di pulau ini.
Kesan pertama sejak mendaratkan kaki di Pulau Untung Jawa adalah teratur. Kedai makan, tempat penyewaan sepeda dan pelampung, penginapan atau homestay, hingga letak mukim penduduk dan wilayah wisata pun terbagi dengan rapi.
Di sisi barat pulau dikhususkan sebagai kawasan wisata dan sebelah timur merupakan wilayah hidup penduduk Pulau Untung Jawa.
Olis membawa kami menuju homestay Marlin. Satu-satunya penginapan yang memiliki sertifikat CHSE (Cleanliness, Health, Safety, dan Environment Sustainability) yang dikeluarkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Sertifikat ini menjamin protokol kebersihan, kesehatan, keamanan dan kelestarian lingkungan, dengan tujuan membangun kembali kepercayaan serta rasa aman dan nyaman wisatawan untuk berwisata di era pandemi dan setelah pandemi.
Sertifikat yang dimiliki oleh Homestay Marlin inilah yang kemudian membawa Pulau Untung Jawa meraih juara tiga kategori Homestay Desa Wisata Untung Jawa, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021.
Jantung Kehidupan Ekonomi Warga
“Sepertinya asyik makan di dekat laut,” celetuk saya.
Olis pun memberikan rekomendasi kedai makan sesuai suasana yang kami inginkan. Di bawah lindungan payung kanopi, kami menikmati santapan siang yang terhidang.
Tidak jauh dari lokasi, kami bisa melihat tiga orang wisatawan yang ingin menaiki Banana Boat. Balon air panjang yang berbentuk seperti pisang itu mengapung dekat dengan bibir pantai. Lalu, mereka melaju kencang ditarik dengan tali oleh sebuah speed boat.
“Berapa tarif Banana Boat di sini? tanya saya pada Olis.
“Sekitar 20 ribu rupiah sampai 25 ribu rupiah untuk satu orang,” jawabnya.
Setelah dua tahun “mati suri” akibat dibatasinya akses wisata selama pandemi Covid-19, Pulau Untung Jawa kembali ke kehidupan sejatinya.
Perut kenyang, hati senang. Sebelum mata mengantuk karena terpaan angin silir-semilir, Olis segera membawa kami beranjak bertemu Suryadi, pemiliki toko suvenir dan kedai makan Bilalu.
Rendy, begitu Suryadi akrab disapa. Saat saya datang, dirinya tengah bersantai bersama istri sembari menonton televisi. Ia mendirikan kedai makan ini bersama istrinya, Siti Aisyah, pada 2016.
Kedai ini bersambung dengan docking boat atau galangan kapal, sebuah tempat yang dirancang untuk memperbaiki, membuat, atau menggeser kapal dari perairan ke atas dermaga.
Sebelum kedai berdiri, Rendy bersama Siti Aisyah terlebih dahulu membuka toko suvenir tanpa nama, tepatnya pada 1995. Bila berkunjung ke kedai Bilalu, wisatawan akan mendapat teman cerita tentang begitu melimpahnya kekayaan alam di Pulau Untung Jawa.
Berbekal kekayaan inilah Rendy dan Siti Aisyah membangun usaha suvenir kecil-kecilan berbahan dasar cangkang kerang. Setelah era reformasi, Rendy mulai mengembangkan usahanya dan mengajak ibu-ibu rumah tangga dan remaja putus sekolah untuk bergabung bersama. Setelah banyak yang bergabung, akhirnya, terbentuklah kelompok yang diberi nama “Bilalu”.
Nama bilalu diambil dari nama sebuah cangkang yang biasa ditemukan sebagai suvenir di toko-toko pinggir pantai. Bilalu kecil sering dibuat sebagai biji congklak atau tirai, sedangkan bilalu besar sering menjadi pajangan atau dirangkai membentuk model kura-kura.
Selain membuat kerajinan kerang, Pak Rendy juga ahli membuat model miniatur kapal. Mulai dari kapal layar, kapal feri, hingga kapal pinisi beragam ukuran. Kreativitas dan kemahirannya ini membawa Rendy berkeliling Indonesia sebagai pengisi tetap pameran-pameran pariwisata kreatif, khususnya pada ajang International Handicraft Trade Fair (INACRAFT).
Sayang, seiring berjalannya waktu, anggota kelompok Bilalu mulai mundur hingga akhirnya kelompok ini tercerai berai. Kondisi ini cukup disesalkan karena Pak Rendy percaya bahwa pariwisata merupakan “jantung” penggerak ekonomi di pulau ini, sedangkan pariwisata tidak akan berkembang tanpa adanya kreativitas.
Baca Juga: Kontaminasi Parasetamol di Teluk Jakarta, Apa Dampak Bagi Biota Laut?
Baca Juga: Pengamatan Terbaru: Masih Ada Burung Terancam Punah di Teluk Jakarta
Baca Juga: Bangkai-Bangkai Kapal Kepulauan Seribu, Dunia Lain yang Masyhur
Baca Juga: Studi: Sampah Plastik di Teluk Jakarta Didominasi Oleh Styrofoam
Kini, hanya Rendy dan toko suvenir Bilalu-nya yang masih bertahan. Ia aktif melahirkan karya-karya baru sebagai buah tangan wisatawan yang datang berkunjung ke Pulau Untung Jawa. Selain menjadi etalase kriya hasil olahan tangan dinginnya, toko suvenir ini juga menyediakan tempat bagi warga yang ingin menitipkan jualannya. Kebanyakan adalah produk buah tangan seperti kripik sukun dan manisan ceremai.
Bila wisatawan datang dan merapat di dermaga utama, berjalanlah hingga pintu masuk pulau. Tepat di seberang pintu masuk, terpampang dengan jelas papan nama bertuliskan “Bilalu Art Souvenir” berlogo kerang dengan campuran warna putih dan biru langit.
“Saya tidak akan bisa sampai seperti ini tanpa istri saya,” ujar Rendy sembari menatap mata Siti Aisyah. Istrinya hanya tersenyum tanpa menambahkan apapun.
Perjuangan pasangan ini mendirikan Bilalu bukanlah hal yang mudah. Dahulu, tuduhan miring dan cibiran masyarakat sempat mereka terima. Masa-masa itu datang disaat pertama kali mereka menemukan cara memanfaatkan cangkang kerang menjadi suvenir.
Siti Aisyah terkejut saat cangkang kerang yang mereka kumpulkan dibeli dengan harga tinggi oleh turis asing.
“Selama kreativitas kita hidup, apapun bisa dijual di pulau ini,” ungkap Siti Aisyah. Terbukti, dari kreativitas ini, tiga buah hati berhasil mereka besarkan.
Hari semakin sore. Dari kedai makan Bilalu, kami bisa melihat langit daratan seberang yang menghitam. Warga pulau menyebut "darat" untuk merujuk DKI Jakarta.
Angin semilir perlahan berubah menjadi badai yang menerbangkan beberapa kursi dan jeriken plastik yang berjajar di pinggir kedai. Rendy dan istrinya bergegas mempersiapkan kedatangan hujan besar. Seolah mereka paham apa yang akan hadir menghampiri selanjutnya.
Benar saja. Tidak lama kemudian, kami terpaksa menghentikan perbincangan dan berteduh karena terjebak di tengah hantaman hujan deras disertai angin kencang.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR