“Sepertinya asyik makan di dekat laut,” celetuk saya.
Olis pun memberikan rekomendasi kedai makan sesuai suasana yang kami inginkan. Di bawah lindungan payung kanopi, kami menikmati santapan siang yang terhidang.
Tidak jauh dari lokasi, kami bisa melihat tiga orang wisatawan yang ingin menaiki Banana Boat. Balon air panjang yang berbentuk seperti pisang itu mengapung dekat dengan bibir pantai. Lalu, mereka melaju kencang ditarik dengan tali oleh sebuah speed boat.
“Berapa tarif Banana Boat di sini? tanya saya pada Olis.
“Sekitar 20 ribu rupiah sampai 25 ribu rupiah untuk satu orang,” jawabnya.
Setelah dua tahun “mati suri” akibat dibatasinya akses wisata selama pandemi Covid-19, Pulau Untung Jawa kembali ke kehidupan sejatinya.
Perut kenyang, hati senang. Sebelum mata mengantuk karena terpaan angin silir-semilir, Olis segera membawa kami beranjak bertemu Suryadi, pemiliki toko suvenir dan kedai makan Bilalu.
Rendy, begitu Suryadi akrab disapa. Saat saya datang, dirinya tengah bersantai bersama istri sembari menonton televisi. Ia mendirikan kedai makan ini bersama istrinya, Siti Aisyah, pada 2016.
Kedai ini bersambung dengan docking boat atau galangan kapal, sebuah tempat yang dirancang untuk memperbaiki, membuat, atau menggeser kapal dari perairan ke atas dermaga.
Sebelum kedai berdiri, Rendy bersama Siti Aisyah terlebih dahulu membuka toko suvenir tanpa nama, tepatnya pada 1995. Bila berkunjung ke kedai Bilalu, wisatawan akan mendapat teman cerita tentang begitu melimpahnya kekayaan alam di Pulau Untung Jawa.
Berbekal kekayaan inilah Rendy dan Siti Aisyah membangun usaha suvenir kecil-kecilan berbahan dasar cangkang kerang. Setelah era reformasi, Rendy mulai mengembangkan usahanya dan mengajak ibu-ibu rumah tangga dan remaja putus sekolah untuk bergabung bersama. Setelah banyak yang bergabung, akhirnya, terbentuklah kelompok yang diberi nama “Bilalu”.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR