Hans Vogel, profesor kajian Tionghoa di University of Tübingen punya pandangan lain. Dalam artikel Univeristy of Tübingen di Science Daily, Vogel memandang Marco Polo punya penjelasan akurat tentang pusat produksi garam di Tiongkok seperti Changlu, Lianghuai, Liangzhe dan Yunnan.
"Laporannya tentang metode yang digunakan untuk membuat garam di Changlu diperiksa dengan dokumen China dari era Yuan. Garam dalam monopoli Venesia diproduksi dengan cara yang berbeda," terang Vogel.
"Informasi ini dan lainnya, yang keakuratannya belum sepenuhnya dihargai, semuanya menunjukkan bahwa Marco Polo benar-benar melayani Khan Agung," lanjutnya.
"Klaim Marco Polo tentang nilai produksi garam—misalnya, bahwa pendapatan dari Kinsay menghasilkan 5,8 juta saggi emas setiap tahun—dapat dibandingkan dengan nilai tukar uang kertas, membawa kesimpulan bahwa Polo tahu apa dia bicarakan."
Keraguan kebenaran perjalanan: tidak ada cerita tentang Tembok Besar Tiongkok
Wood juga skeptis terhadap perjalanan Marco Polo ke Kekaisaran Tiongkok menyusuri Jalur Sutra darat. Jika dia berjalan dari barat, kemudian menuju jantung pemerintahan Tiongkok, seharusnya Tembok Besar Tiongkok dilihatnya. Akan tetapi, Marco Polo tidak menyebutkan tengara fenomenal itu, padahal keberadaannya sudah ada sejak zaman Dinasti Qin (221-206 SM).
"Pandangan skeptis menunjukkan bahwa Marco Polo tidak menyebutkan Tembok Besar," jelas Vogel.
"Namun penelitian di Timur dan Barat telah menunjukkan bahwa Tembok Besar seperti yang kita kenal adalah produk dari Dinasti Ming (1368-1644) dan tembok sebelumnya telah lama hancur, dan telah kehilangan peran militer yang mereka mainkan di Mongol," lanjut Vogel.
Selain itu, Marco Polo yang disebutkan sebagai pedagang seharusnya memiliki banyak barang. Pada saat kematiannya, Wood menerangkan, tidak ada barang yang berhubungan dengan Kekaisaran Tiongkok. Padahal, Marco diketahui sangat suka kebudayaan Tiongkok dan materialistis, tetapi pembukitannya ini justru seperti bersifat religius.
"Selain Tiongkok, Marco Polo bahkan tidak melihat ibu kota Mongolia di Karakorum," jelas Satya. "Lebih buruk lagi, dia sebenarnya tidak melampaui Persia, namun sebagian besar dari buku itu adalah deskripsi tentang Tiongkok."
Source | : | Science Daily,sumber lain,National Geographic |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR