Pak Me pun menuntun kami menuju waruga, kubur batu orang Minahasa di masa lalu. Ada enam waruga di sana, salah satunya tak tertutup lagi. Waruga terdiri dari dua bagian, satu bagian berbentuk kotak dengan lubang di tengah, dan satu bagian berbentuk atap rumah yang berfungsi sebagai penutup. Pak Me menuturkan, masih ada beberapa waruga yang tersebar di beberapa titik lainnya, dekat dengan situs yang sedang kami kunjungi ini.
Kawasan waruga ini disebut Minawanua Linekepan, kampung tua Likupang. Linekepan —sebutan masa lalu Likupang— berasal dari bahasa Tonsea linekep berarti tenggelam. Pelafalannya lalu menjadi likupang hingga kini. Istilah linekepan muncul dari pendahulu—atau dotu-dotu—karena di saat tertentu kala purnama, pasang sering merendam permukiman. Masyarakat pun berpindah ke area Minawanua yang posisinya lebih tinggi dari pemukiman awal mereka yang dekat dengan muara Sungai.
Kini, aktivitas melaut banyak dijumpai di daerah Likupang, saya menyaksikan aneka ikan diturunkan dari berbagai jenis kapal, kemudian dijual di Pasar Likupang.
Selanjutnya kami berkunjung ke Desa Bahoi, sebuah desa di pesisir Likupang. Tonny Rondonuwu, yang aktif dalam kegiatan pelestarian Mangrove di Desa Bahoi, menemani kami. Nama Bahoi tidak asing untuk kalangan pecinta lingkungan khususnya terkait pelestarian karang dan mangrove di Sulawesi Utara.
Pada 1999, desa ini adalah satu di antara 31 desa di kawasan pesisir yang diarahkan sebagai wilayah Daerah Perlindungan Laut (DPL) di Indonesia. Pada 2003, peraturan desa menetapkan DPL seluas 10 hektare. Perdebatan pun muncul di antara nelayan. Namun, kisah masa lalu Bahoi yang dilimpahi hasil tangkapan ikan, menjadi penyemangat bagi masyarakat untuk tetap menjaga DPL hingga kini.
Saya disambut Paulus Prong, instruktur selam yang kini membantu pemuda di Desa Bahoi mengembangkan potensi ekowisata. Kami berbincang tentang kelompok musik Keroncong Mama yang biasa tampil menyambut tamu desa. Saya belum beruntung tak bisa menjumpai seluruh anggotanya yang terdiri dari tujuh orang. Paulus pun menunjukkan streng bass, salah satu alat musik Keroncong Mama.
Baca Juga: Rekomendasi Destinasi: Pelesiran Sambil Mengenal Para Raksasa dan Laut
Baca Juga: Kehidupan di Balik Borobudur: Menjelmakan Warisan Seribu Warsa
Baca Juga: Pelesiran Terbaik Belitung: Kami Bertaut di Pesisir si Siput Laut
Baca Juga: Sibandang, Jejak Sisingamangaraja dan Emilio Modigliani di Selatan Toba
Kami pun melangkah menuju kawasan manggrove yang tak terlalu jauh dari homestay. “Ada 15 jenis bakau di lokasi ini,“ kata Tonny. Pengetahuan para penggerak desa ini terkait seluk beluk pepohonan bakau membuat saya kagum. Di salah satu bagian jembatan, bakau dibiarkan tumbuh menaungi bagian atas, memaksa pengunjung yang lewat merundukkan kepala.
Saat tiba di pantai, Rian dengan bangga memamerkan, beberapa bakau yang mereka tanam telah tumbuh dengan baik. Sebuah usaha konservasi dari Kelompok Pecinta Alam Likupang dan para pemuda di Desa Bahoi. Tonny kemudian menunjuk buah salah satu spesies bakau, Bruguiera parviflora “ini bisa diolah menjadi tepung,“ ungkapnya.
Saat bersnorkeling, ajakan yang tentu tak saya lewatkan, Paulus menunjukkan berbagai karang indah dan ikan. Ada harapan tentang masa depan yang lestari, saat sebuah usaha pariwisata bisa berpadu dengan konservasi.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR