Kaisar tanpa hidung dengan lidah cacat
Pemerintahan Justianus II yang mengerikan berakhir pada tahun 695 Masehi. Sebelum membuangnya ke Krimea, para pemberontak memotong hidungnya dan memotong lidahnya menjadi dua. Alih-alih menyerah, Justinian melarikan diri ke tanah air Khazar dan segera mulai merencanakan untuk merebut kembali kekuasaannya.
Baca Juga: Mengapa Arsitektur Hagia Sophia dan Masjid Biru Terlihat Kembar?
Baca Juga: Daftar Pencapaian Kaisar Konstantinus Agung dari Kekaisaran Bizantium
Baca Juga: Peran Penting Tembok Theodosian di Masa Kekaisaran Bizantium
Baca Juga: Peran Penting Tembok Theodosian di Masa Kekaisaran Bizantium
Baca Juga: Jejak Keganasan Bangsa Viking Menjadi Tentara Bayaran Bizantium
Ia akhirnya membalas dendam yang mengerikan pada musuh-musuhnya. Setelah merebut kembali takhta, Justianus II memerintah selama 6 tahun lagi berikutnya. Namun karena lidahnya dimutilasi, ia harus dibantu oleh seorang penerjemah untuk menyampaikan maksudnya. Kekerasannya yang tak henti-hentinya menyebabkan penggulingannya yang kedua pada tahun 711. Kali ini, Justianus dibunuh agar tidak bisa merebut takhta lagi.
Budak seks
“Karena penampilannya yang muda, para kasim diduga dimanfaatkan secara luas sebagai budak seks,” ujar Sal. Secara resmi, ini dilarang, tetapi gereja berjuang untuk menemukan cara untuk menghentikannya tanpa juga mencela perbudakan dan kaisar.
The Life of St Andrew the Fool, yang ditulis pada abad ke-10, mengilustrasikan masalah ini dan meletakkan tanggung jawabnya tepat pada para kasim.
Jika seorang budak gagal untuk mematuhinya, ia akan menderita karena disiksa. Para budak diberkati tiga kali jika mereka menolak untuk tunduk pada dorongan keji tuan mereka. Pasalnya, karena siksaan mengerikan, mereka akan diperhitungkan sebagai martir.
Sebagian kebiasaan yang kita anggap aneh, dipandang biasa bila dilakukan di masa Kekaisaran Bizantium. Bayangkan saja jika mutilasi dianggap normal untuk menyingkirkan musuh atau lawan di zaman modern.
Source | : | Medium.com |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR