Nationalgeographic.co.id—Di sekolah, anak yang dapat dengan cepat menyerap pembelajaran kerap dinilai pintar. Maka, muncullah kategorisasi mana anak yang cepat dan lambat menangkap pembelajaran. Padahal materi yang diajarkan, diberikan dengan porsi yang sama di ruang kelas.
Sains justru membantah pandangan ini. Sebab, menurut sebuah penelitian di PNAS mengungkapkan bahwa kita sebenarnya belajar dengan kecepatan yang sangat sama, dan peluang pembelajaran yang juga sama.
"Data menunjukkan bahwa kesenjangan pencapaian [pembelajaran] berasal dari perbedaan dalam kesempatan belajar," kata Kennet Koedinger, peneliti Human-Computer Interaction Institute, Carnegie Mellon University, dikutip dari rilis universitas.
Dia memimpin penulisan makalah berjudul "An astonishing regularity in student learning rate" yang diterbitkan 20 Maret 2023.
"Dan akses yang lebih baik ke peluang tersebut dapat membantu menutup kesenjangan tersebut," lanjutnya. Dengan kata lain, yang membedakan bagaimana peserta didik bisa menangkap pelajaran bukan dari kemampuan cepat-lambatnya penyerapan. Melainkan, titik awal atau model pembelajaran yang mendukung mereka bisa menyerap ilmu pengetahuan.
Koedinger dan timnya mengamati 1,3 juta interaksi pelajar di berbagai perangkat perangkat lunak pembelajaran. Interaksi itu dilakukan oleh 6.946 siswa dari sekolah dasar hingga mahasiswa.
Isi interaksi ini memuat data yang mencakup berbagai mata pelajaran dan berbagai format, seperti kursus daring dan gim edukasi.
Dari analisis penelitian, terungkap bahwa titik awal bagi pelajar dan kesempatan mereka bisa mempraktekkan apa yang mereka pelajari, punya pengaruh terhadap kinerja akademiknya dibandingkan tingkat pembelajaran apa pun.
"Ini adalah konfirmasi lebih lanjut bahwa teknologi pendidikan ini dapat memberikan kondisi pembelajaran yang menguntungkan yang mempermudah mempelajari sesuatu yang baru, seperti bahasa kedua, atau konsep ilmiah atau matematika," terang Koedinger.
Para peneliti menjelaskan, para pendidik harus memahami di mana titik awal bagi peserta didik untuk bisa belajar yang tepat. Jika berhasil memahami, pengajar dapat membantu peserta didik mengejar rekan-rekan mereka yang telah lebih dulu paham supaya bisa punya kesempatan yang sama.
Misalnya, terang Koedinger, pendidik bisa memberi pembimbingan kognitif bagi pelajar atau mahasiswa yang membuat mereka bisa memberikan tanggapan terkait tugas pekerjaan rumahnya. Selain itu, pengajar juga harus melacak di mana peserta didiknya berada saat kelas dimulai agar tidak tertinggal pelajaran.
Dari analisis para peneliti, peserta didik rata-rata membutuhkan tujuh kali kesempatan untuk mempelajari sesuatu supaya paham. Memang, tidak sama untuk semua peserta didik.
Akan tetapi, mengetahui hal ini, terang para peneliti, lebih membantu mengetahui di mana titik awal bagi seorang peserta didik bisa tahu ketertinggalan mereka dalam sistem pembelajaran.
"Kita semua telah melihat kasus di mana seseorang mendapatkan hasil belajar lebih cepat daripada teman sebayanya―satu siswa mendapat nilai A dalam aljabar, dan yang lain mendapat nilai C," kata Koedinger. "Tetapi yang biasanya tidak kami lacak adalah dari mana mereka memulai."
"Hasil kami tidak bertentangan bahwa orang-orang berakhir di tempat yang berbeda, tetapi memperhitungkan dari mana siswa mulai dapat memberi tahu kami banyak tentang di mana mereka akan berakhir."
Baca Juga: Guru yang Bersuara Keras Akan Lebih Buruk dalam Menginspirasi Kelas
Baca Juga: Studi Baru: Bermain Piano Dapat Meningkatkan Kekuatan Pemrosesan Otak
Baca Juga: Guru Punya Peran Penting dalam Pemulihan Pendidikan di Masa Pandemi dan Pascapandemi
Baca Juga: Bonus Demografi untuk Mencetak Generasi Indonesia Berdaya Saing Global
Hal yang membuat seseorang tersendat dalam mempelajari sesuatu, menurut penelitian, karena otak kita mengambil 'rute mental' yang berbeda.
Dari sini, disimpulkan bahwa tingkat pembelajaran sebenarnya tidak terlalu berbeda bagi murid. Namun, segala hal yang memengaruhi mental, seperti rasa keterlibatan atau suasana, menjadi rintangan otak untuk bisa paham.
“Kami memiliki beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa ketika seorang siswa aktif bekerja, mereka cenderung melakukan lebih baik daripada jika mereka hanya membaca materi secara pasif,” kata Paulo Carvalho, salah satu penulis makalah yang satu institusi dengan Koedinger.
Maka, pembelajaran harus disesuaikan dengan 'rute mental' peserta didik. Misalnya, ada murid yang berbeda supaya bisa memahami pembelajaran.
Anggaplah, mereka lebih menonjol dalam bahasa, sehingga mereka memerlukan cara hafalan atau mengingat daripada menalar. Pengajar harus memberikan pendekatan pembelajaran yang dipersonalisasi, bukan secara umum.
"Siapapun kamu, kamu bisa melakukannya," lanjutnya. "Kamu mungkin memiliki lebih sedikit peluang sebelumnya (untuk belajar) dalam hidup Anda, jadi mungkin lebih sulit pada awalnya daripada orang lain. Tetapi kamu akan membuat kemajuan sebanyak orang lain selama Anda menaatinya."
Source | : | sumber lain |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR