Batik Lasem merupakan karya batik yang memuat budaya akulturasi antara budaya Tionghoa dan Jawa. Kawasan Lasem area pecinan merupakan kota yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa pada abad ke-18 dan abad ke-19, terutama pada saat masa perdagangan candu berkembang di Hindia Belanda.
Baca Juga: Semangat Kartini Mengembalikan Pesona Rona Wastra Batik Lasem
Baca Juga: Mengenal 'Mbok Semok', Etos Perempuan Pengrajin Batik di Girilayu
Baca Juga: Batik Minangkabau: Selidik Dinamika Batik Tanah Liek dan Ragam Hiasnya
Baca Juga: Selidik Kisah dan Filosofi di Balik Corak Keindahan Batik Lasem
Baca Juga: Batik Vorstenlanden: Kisah Batik Dari Empat Istana Penerus Mataram
Lasem bersama Rembang dan Juwana menjadi corong candu, pusat pendaratan kapal candu dan penyebaran candu di Pulau Jawa. Pemegang hak penjual (pachter) candu terbanyak adalah orang Tionghoa.
Keuntungan yang didapat oleh para pachter candu dari perdagangan dan penyelundupan candu di Lasem sampai saat ini masih terasa jejaknya. Kita masih bisa menyaksikan jejak itu pada dua ratusan bangunan tua berarsitektur Fujian, Indische Empire, Tionghoa Hindia, dan Kolonial yang banyak dijumpai di sekitar komplek kota tua Lasem yaitu Soditan-Gambiran, Karangturi, Babagan, dan Gedongmulyo.
Pada saat perdagangan candu mengalami kemunduran pada 1890, bersamaan dengan berlakunya Opiumregie, perusahaan batik seolah menjadi salah satu usaha yang muncul setelah perdagangan candu tidak lagi mendatangkan keuntungan.
Pada masa batik berkembang menjadi industri besar di Hindia Belanda, tumbuh pula industri gambir (Uncaria gambir) di Kepulauan Riau yang diprakarsai oleh Sultan Riau Lingga pada awal abad ke-18 dengan mendatangkan imigran dari Fujian dan Guangdong untuk budidaya gambir.
Getah tumbuhan Gambir yang dikeringkan dan dijadikan bahan penguat warna pada batik. Batavia dan beberapa daerah di Jawa menjadi importir gambir dari wilayah Riau Lingga (sekarang Bintan wilayah Senggarang, Provinsi Kepulauan Riau). Tak heran, di sentra-sentra batik masa kolonial terdapat wilayah-wilayah yang dinamai Gambiran.
(Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian Sejarah Kota Tua Lasem yang dilakukan penulis sejak tahun 2015 hingga saat ini)
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR