Nationalgeographic.co.id—Cinta merupakan suatu anugerah. Dari sanalah, segalanya bisa bersatu padu, tak terkecuali perihal politik. Sejarah keluarga bangsawan mencatat bahwa penyatuan kekuasaan dan percampuran kebudayaan kerap terjadi lewat cinta dan pernikahan.
Tampaknya inilah yang dialami oleh salah satu aristokrat, bangsawan terkemuka Banten, yakni keluarga Djajadiningrat yang sohor di tanah Jawa. Mereka mengikatkan pertalian diplomatik lewat hubungan cinta Hoessein Djajadiningrat dengan putri Mangkunegaran.
Pernikahan dan ikatan cinta mereka cukup menjadi perhatian sejarah keluarga bangsawan Jawa. Bagaimanapun, antara Keluarga Djajadiningrat dengan keluarga Mangkunegara VII sama-sama terhormat dan tersohor di tanah Jawa.
Agus Nuralam menyebut dalam skripsinya berjudul Historiografi Banten Dalam Pandangan Hoesein Djajadiningrat (2019), bahwa sejak awal, Keluarga Djajadiningrat merupakan keluarga yang paling melek huruf di Banten.
Hoessein juga adalah orang besar dan terhormat. Ia dikenal sebagai salah satu pelopor tradisi keilmuan di Indonesia. Belum lagi garis keturunannya sudah diketahui publik tentang kemasyhuran sejak lama.
Menurut silsilah keluarganya, Hoesein Djajadiningrat merupakan keturunan dari Pangeran Raden Wirasoeta, seorang pemuda asal Badui yang mengabdi pada Kesultanan Banten yang kemudian diangkat menjadi pangeran Kesultanan Banten.
Raden Wirasoeta mengambil perannya sebagai pangeran di masa kepemimpinan Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau yang lebih sohor dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Sekitar masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, seorang Puun—tetua suku badui—dari Tjibeo (Desa Cibeo) mempunyai seorang putra bernama Raden Wirasoeta.
Dikisahkan bahwa Raden Wirasoeta tidak suka hidup dalam masyarakat Badui, karena merasa bahwa masyarakat itu terlalu sempit bagiannya. Oleh karena itu, Wirasoeta memohon kepada ayahnya agar ia diperbolehkan mengabdi kepada sultan Banten.
Sultan Ageng sering kali berperang, dan ternyata Wirasoeta sangat ahli dalam peperangan sehingga ia diangkat menjadi seorang pangeran. Bahkan Sultan Ageng menikahkanya dengan salah satu putrinya.
Dari pernikahan itu, lahirlah salah seorang putranya yang bernama Ki Ngabehi Bahu Pringga yang menjadi Patih Lebak. Praktis setelahnya, ia memiliki segenap keturunan yang terpandang di Banten, bahkan Hindia Belanda.
Ki Ngabehi Bahu Pringga, putra dari Raden Wirasoeta, kemudian memiliki anak yang juga tak kalah terpandangnya di Banten, Raden Adipati Aria Natadiningrat sebagai bupati Pandeglang.
R.A.A Natadiningrat kemudian dikaruniai putra bernama Raden Bagus Djajawinata, seorang bupati Serang yang sohor di zamannya. Ia kemudian menikah dengan Ratu Salehah yang berasal dari Cipete.
Dari pernikahan inilah, mereka dikaruniai delapan orang anak: Achmad Djajadiningrat, Muhamad, Hoessein Djajadiningrat, Hadijah, Lukman, Sulasmi, Hilman, dan Rifki. Dari sini, Hoessein ambil bagian meneruskan tren positif dari keturunan Raden Wirasoeta.
Berkat perantauan keilmuannya hingga ke Belanda, "Hoessein tidak hanya dikenal sebagai pribumi yang mampu merengkuh gelar doktor pertama di Hindia Belanda, namun juga menjadi seorang intelektualis yang disegani di orang-orang Eropa," imbuh Agus.
Setelah berlelah-lelah belajar hingga ke negeri Belanda sampai bergelar doktor dan kembali dengan sejumlah karya pemikirannya, Hoessein Djajadiningrat pada akhirnya bertemu dengan sang pujaan hatinya.
Suatu ketika Hoessein, yang kala itu disegani oleh orang-orang Belanda karena keilmuannya, sedang berada di Batavia. Di momen itulah untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Partini yang sedang berkunjung bersama ayahnya, Mangkunegara VII, sekira 1918.
Bendara Raden Adjeng (BRA) Partini merupakan putri sulung dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VII. Hoessein tahu dia sedang bertemu dengan seorang penguasa kadipaten bersama putrinya.
Pertemuan itu mendebarkan bagi Hoessein, sebelum akhirnya mereka bertemu kedua kalinya di Surakarta. Pertemuan kedua mereka terjadi tatkala dihelatnya Kongres Java Instituut di tahun 1919.
Ketika Partini sedang berkumpul bersama segenap anggota lainnya, Hoessein muncul sebagai ketua kongresnya. Pertemuan kedua inilah menjadi bermulanya hubungan asmara mereka. Mereka melanjutkan hubungannya dengan saling berbalas surat.
Sampai tibalah saat yang dinantikan, pada hari Minggu, 9 Januari 1921. Hari itu pesta pernikahan yang megah menjadi saksi bukti cinta dua bangsawan yang sohor di tanah Jawa, mengikat Banten dengan Surakarta.
Disebutkan bahwa pernikahan di Pura Mangkunegaran itu berlangsung sakral. Pernikahan dilangsungkan dengan adat khas Surakarta, mengingat bahwa BRA Partini merupakan putri dari penguasa Mangkunegaran. Pernikahan yang menyatukan sejarah keluarga bangsawan.
Baca Juga: Meneladani Mangkunegara VI, Sang Reformis yang Nyaris Terlupakan
Baca Juga: Riwayat Nyonya-nyonya Cina di Jawa, Narasi Sejarah yang Terlupakan
Baca Juga: Singkap Stigma Kehidupan Perempuan-perempuan Jawa Sebelum Abad ke-20
Selepasnya, pernikahan mereka dilanjutkan di Banten. Achmad Djajadiningrat (kakak Hoessein) menyambut keluarga terhormat dari Mangkunegaran dengan sambutan yang hangat dan mewah.
Achmad selaku Regent Serang, mengupayakan gelaran megah khas keluarga bangsawan Banten. Acara adat juga dilangsungkan secara khidmat untuk mengikat dua keluarga bangsawan yang terpandang di tanah Jawa.
Bukti cinta dari pernikahan mereka adalah lahirnya enam orang anak. Tiga di antaranya laki-laki, dan tiga lainnya perempuan. Saat ini, keturunan mereka yang banyak dikenal adalah Dimas Djajadiningrat, sutradara kondang nasional.
Hoessein dan Partini sama-sama merupakan orang intelek. Hoessein mengabdi pada studi dan riset, sedang Partini bergelut dalam dunia sastra dan korespondensi. Keduanya bukan hanya sekadar keturunan bangsawan, melainkan juga menunjukkan kualitas diri mereka masing-masing.
Berkat bersatunya dua insan ini, sejarah keluarga bangsawan telah mencatat: Pernikahan ini menjadi satu penanda tentang cinta yang berhasil menyatukan dua keluarga tersohor di Jawa.
Source | : | Repository UIN Banten |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR