“Faktanya, bukan ilmu pedang, melainkan panahan yang pertama kali mendefinisikan karakter bela diri mereka dan membuat mereka menjadi prajurit elite,” terang Adan.
Busur Kekaisaran Jepang memiliki desain yang unik. Yumi adalah busur panjang bak busur pasukan Inggris yang digunakan oleh samurai. Yumi berpasangan dengan Ya, sebuah penamaan untuk anak panah bambu.
Busur berbahan bambu ini, memiliki panjang lebih tinggi dari rata-rata orang pada umumnya (sekitar dua meter). Desainnya yang asimetris membuatnya berbeda dari busur lainnya.
Menariknya, penggunaan yumi terus berlanjut bahkan pada zaman tanegashima, di medan perang Sengoku Jidai. Senapan juga digunakan oleh para samurai dan pasukan ashigaru selama dalam pertempuran.
Namun demikian, senapan api kala itu terlalu lambat untuk diisi ulang, berisik, dan tidak berguna bila hujan turun. Oleh karena itu, menggunakan busur panah adalah piranti pelengkap yang sangat penting.
“Para samurai adalah pemanah yang terampil, dan busur panjang adalah alat yang mereka sukai,” terang Adan. Selain busur panjang, mereka juga menggunakan busur silang sebagai senjata pribadinya.
Senjata Shudo Kekaisaran Jepang
Pada awalnya, penggunaan busur silang otomatis di Kekaisaran Jepang sangat jarang. Meskipun letaknya berdekatan dengan Tiongkok, di mana busur silang digunakan secara luas, senjata jarak jauh ini tidak pernah populer di kalangan samurai.
Meskipun demikian, jenis busur silang otomatis tercatat pernah digunakan secara terbatas: shudo. Seperti arbalesta barat, shudo adalah senjata infanteri genggam yang dikenal dengan nama lain ishiyumi.
Dalam sebuah ekskavasi di prefektur Shimane, ditemukan shudo yang diduga berasal dari Zaman Yayoi (200-300 SM). Seperti banyak busur panah pada periode itu (dan periode selanjutnya), busur ini terbuat dari kayu, dan mekanisme pemicunya terbuat dari perunggu.
“Hal ini tidak berbeda dengan busur panah di Tiongkok, yang menunjukkan bahwa busur ini mungkin diimpor,” terang Adan.
Namun karena terbatasnya peninggalan yang ditemukan, Adan menjelaskan, sulit untuk mengetahui “seperti apa bentuk sebenarnya atau seberapa kuatnya.”
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR