Nationalgeographic.co.id—Ketika prajurit samurai Kekaisaran Jepang disebutkan, acapkali pedang menjadi hal pertama yang muncul di benak seseorang. Lantas, apakah busur panah digunakan oleh para prajurit samurai?
Barangkali kita dapat menyalahkan budaya populer yang memberi gambaran kepada kita tentang samurai Kekaisaran Jepang. Dalam film-film, ia digambarkan menggunakan pedang tak terkalahkan. Namun seperti yang kita tahu, kehidupan nyata berbeda.
Dilansir dari laman Owlcation, Mamerto Adan menuliskan, bahwa dalam kasus samurai, mereka sama praktisnya dengan pejuang lain di zaman mereka.
Artinya, mereka membawa lebih dari sekadar katana (atau tachi pada periode sebelumnya) dan dilatih untuk memakai berbagai jenis senjata.
Malahan, sebuah fakta menyatakan bahwa pedang bukanlah senjata utama mereka. Penggunaan senjata api justru lebih digemari.
Mungkin kita sulit membayangkan bila mendengar kisah samurai Kekaisaran Jepang sebagai pemanah berkuda, tetapi begitulah mereka. Dengan busur bambu yumi di tangan mereka, para prajurit samurai akan mengendarai tunggangan mereka yang kecil namun gesit ke medan perang.
Kemudian, tentu saja, senjata api mulai diperkenalkan, demi suatu keunggulan. “Para samurai dan prajurit ashigaru berlatih untuk menggunakannya,” terang Adan.
Oda Nobunaga bahkan menggunakan semacam formasi dengan para penembak yang menembak di belakang pelindung. Menyerupai dengan formasi tombak dan pasukan senapan Eropa.
Namun tetap saja, karena pengaruh budaya populer, agaknya susah untuk membayangkan seorang samurai dengan zirah lapis baja membawa busur.
Penggunaan busur silang selalu dikaitkan dengan tentara Eropa dan pasukan Kekaisaran Tiongkok kuno. Tetapi, para samurai Kekaisaran Jepang sendiri memiliki panah busur versi mereka sendiri, meskipun tidak digunakan secara luas.
Pasukan Pemanah Samurai Kekaisaran Jepang
Dengan kemampuannya untuk menembak dari jarak yang jauh dan relatif aman, menurut Adan, busur dan anak panah memiliki tempat yang penting dalam persenjataan prajurit samurai.
“Faktanya, bukan ilmu pedang, melainkan panahan yang pertama kali mendefinisikan karakter bela diri mereka dan membuat mereka menjadi prajurit elite,” terang Adan.
Busur Kekaisaran Jepang memiliki desain yang unik. Yumi adalah busur panjang bak busur pasukan Inggris yang digunakan oleh samurai. Yumi berpasangan dengan Ya, sebuah penamaan untuk anak panah bambu.
Busur berbahan bambu ini, memiliki panjang lebih tinggi dari rata-rata orang pada umumnya (sekitar dua meter). Desainnya yang asimetris membuatnya berbeda dari busur lainnya.
Menariknya, penggunaan yumi terus berlanjut bahkan pada zaman tanegashima, di medan perang Sengoku Jidai. Senapan juga digunakan oleh para samurai dan pasukan ashigaru selama dalam pertempuran.
Namun demikian, senapan api kala itu terlalu lambat untuk diisi ulang, berisik, dan tidak berguna bila hujan turun. Oleh karena itu, menggunakan busur panah adalah piranti pelengkap yang sangat penting.
“Para samurai adalah pemanah yang terampil, dan busur panjang adalah alat yang mereka sukai,” terang Adan. Selain busur panjang, mereka juga menggunakan busur silang sebagai senjata pribadinya.
Senjata Shudo Kekaisaran Jepang
Pada awalnya, penggunaan busur silang otomatis di Kekaisaran Jepang sangat jarang. Meskipun letaknya berdekatan dengan Tiongkok, di mana busur silang digunakan secara luas, senjata jarak jauh ini tidak pernah populer di kalangan samurai.
Meskipun demikian, jenis busur silang otomatis tercatat pernah digunakan secara terbatas: shudo. Seperti arbalesta barat, shudo adalah senjata infanteri genggam yang dikenal dengan nama lain ishiyumi.
Dalam sebuah ekskavasi di prefektur Shimane, ditemukan shudo yang diduga berasal dari Zaman Yayoi (200-300 SM). Seperti banyak busur panah pada periode itu (dan periode selanjutnya), busur ini terbuat dari kayu, dan mekanisme pemicunya terbuat dari perunggu.
“Hal ini tidak berbeda dengan busur panah di Tiongkok, yang menunjukkan bahwa busur ini mungkin diimpor,” terang Adan.
Namun karena terbatasnya peninggalan yang ditemukan, Adan menjelaskan, sulit untuk mengetahui “seperti apa bentuk sebenarnya atau seberapa kuatnya.”
Beberapa ilustrasi dalam teks menunjukkan bahwa busur ini menyerupai varian Kekaisaran Tiongkok dalam hal desain, dan versi lokal mungkin ada.
Busur panah Jepang digunakan pada abad ke-9 dan ke-10, tetapi tidak banyak disebutkan setelahnya. Namun demikian, pada periode berikutnya, busur panah dibuat dari berbagai bahan eksotis, termasuk tulang paus, tanduk dan baja.
Senjata Oyumi Kekaisaran Jepang
Oyumi merupakan versi yang lebih besar dari shudo. Ia sedikit lebih populer ketimbang ‘adiknya’. Namanya secara harfiah berarti "busur besar", dengan istilah "o" untuk menunjukkan "kebesaran" atau "ukuran besar" dan "yumi" sebagai busurnya.
Meskipun lebih populer daripada shudo, penampilan keseluruhan dan metode pengoperasiannya sulit ditentukan karena kurangnya ilustrasi yang tersedia.
Namun berdasarkan catatan yang ada, senjata ini berfungsi sebagai ketapel yang dipasang di sebuah tempat yang telah disediakan.
Beberapa catatan juga mengindikasikan bahwa pelontar ini tidak hanya meluncurkan satu tembakan. Bak senjata otomatis, ia dapat memuntahkan beberapa tembakan. Pada dasarnya, senjata ini merupakan varian dari panah berulang Kekaisaran Tiongkok.
Salah satu catatan menggambarkan bagaimana Ōyumi melepaskan beberapa tembakan: "Oyumi berbaris dan menembak secara acak, anak panah jatuh seperti hujan." Senjata ini terakhir kali digunakan pada tahun 1189.
Mengapa Samurai Meninggalkan Busur Silang
Ada beberapa alasan mengapa busur silang tidak begitu populer di kalangan samurai. Dalam kasus shudo, ketersediaan bahan, gaya bertarung dan preferensi taktis para samurai adalah masalah utama.
Untuk membuat busur silang yang kuat pada masa itu, dibutuhkan tanduk, tulang, urat busur dan kayu. Kayu bukanlah masalah, tetapi tanduk, tulang dan urat memiliki masalah pasokan di Kekaisaran Jepang.
Impor buatan Tiongkok sudah tersedia. Jadi mengapa harus repot-repot membuat versi lokal? Selain itu, orang Jepang memiliki preferensi yang berbeda ketika bertarung.
“Ya, busur silang lebih mudah dibidik, tetapi fakta bahwa busur silang membutuhkan tiga anggota tubuh untuk memiringkan berarti busur silang tidak dapat digunakan saat menunggang kuda,” terang Adan. Sedangkan, “menembak dari atas kuda adalah keahlian terbaik para prajurit samurai.”
Dan tidak seperti saat memakai busur yumi yang lebih gesit, seorang samurai tidak dapat menggunakan busur silang saat bergerak. Busur silang juga dianggap kurang efisien: waktu pengisian ulang dan kecepatan tembak lambat.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR