Ia menyebarkan ajaran nenbutsu odori (mengucapkan nama Buddha saat melakukan tarian ritual) di Kekaisaran Jepang.
Biksu Ippen segera mendapatkan banyak pengikut. Melalui perjalanan, praktik, dan interaksi dengan masyarakat, selera dalam hal seni dan hiburan pun kian terasah.
Konon semua keterampilan yang baru diperoleh itu membantu pengikut Ippen menjadi pelayan tuan feodal. “Mereka dikenal sebagai doboshu, yang secara luas dianggap sebagai geisha awal,” ujar Strusiewicz.
Doboshu sangat aktif selama Periode Muromachi (1336–1573). Di masa itu, perang saudara terus berkecamuk di Kekaisaran Jepang.
Pada saat itu, panglima perang membutuhkan seseorang untuk mengumpulkan dan menganalisis intelijen serta memberi nasihat tentang strategi. Di saat yang sama, panglima juga membutuhkan orang yang dapat mengalihkan pikiran mereka dari darah dan perang.
Jenis hiburan yang dibutuhkan oleh para prajurit adalah upacara minum teh, lukisan tinta, puisi, dan merangkai bunga.
Doboshu bisa memenuhi semua kebutuhan panglima perang, mulai dari mengalisis intelijen sampai merangkai bunga.
Tentu saja, biaya yang dikeluarkan menjadi jauh lebih murah jika panglima bisa memanfaatkan satu orang yang serba bisa.
Doboshu juga berguna karena mereka bisa menyampaikan kabar buruk kepada pelanggan mereka dengan cara yang lucu. Inilah yang membuka jalan bagi babak kedua dalam sejarah geisha pria.
Perubahan peran doboshu
Menjelang akhir abad ke-16, ketika Kekaisaran Jepang perlahan-lahan menuju penyatuan, doboshu menikmati hak istimewa. Mereka boleh melucu sekaligus mengejek.
Hal ini bertentangan dengan aturan hierarkis yang kaku dari masyarakat Jepang. Di masa itu, doboshu mirip dengan pelawak abad pertengahan di Eropa.
Source | : | Tokyo Weekender |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR