Saat profesi mereka berubah, begitu pula namanya. Doboshu segera dikenal sebagai hanashishu (pendongeng), hokan (pelawak), atau taikomochi (pembawa genderang).
Taikomochi konon berasal dari Shinzaemon Sorori, doboshu yang melayani Toyotomi Hideyoshi, salah satu pemersatu Kekaisaran Jepang.
Setiap kali Hideyoshi sedang dalam suasana hati yang buruk, Shinzaemon akan menghiburnya dengan tarian dan pantomin. Tindakannya itu membuatnya mendapatkan julukan taikomochi.
Takaimochi berarti “dia yang mengangkat taiko”. Saat itu Hideyoshi adalah wali penguasa yang sudah pensiun (taiko).
Taiko juga berarti drum. Instrumen ini sering digunakan oleh geisha pelawak selama penampilan mereka.
Ketika geisha pria mulai menghilang di Kekaisaran Jepang
Seiring waktu, taikomochi pindah dari kediaman pribadi tuan feodal dan berkembang menjadi penghibur profesional untuk disewa dan tampil. Mereka dengan cepat menjadi andalan di perjamuan kota besar. Di perjamuan, geisha pria menggunakan keterampilannya untuk membuat pesta berlangsung selama mungkin.
Namun, zaman keemasan ini tidak berlangsung lama di Kekaisaran Jepang. Mungkin karena mereka berbisnis dengan klien berstatus tinggi, orang-orang mulai memandang rendah geisha pria sejak awal Zaman Edo (1603–1868).
Pada abad ke-18, geisha pria bekerja secara eksklusif di distrik lampu merah. Geisha pria ini terutama dikenal karena menceritakan lelucon porno dan menyanyikan lagu-lagu cabul.
Pemerintah Edo memandang rendah profesi tersebut. Bahkan, pemerintah tidak mau mengakui adanya geisha di kota itu.
Alih-alih sebagai geisha, pemerintah mendaftarkan pria itu sebagai tukang keramas, pembasmi serangga, atau pembersih jamban dalam sensus resmi.
Jadi, ketika geisha wanita mulai muncul, mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk merebut gelar “geisha” dari para pria.
Geisha pria di zaman modern
Geisha pria di zaman modern hadir pesta di mana mereka dapat menunjukkan keterampilan tradisional. Mereka mampu menyanyi, menari, atau menceritakan dongeng dan lelucon lucu.
Akan tetapi, tidak banyak yang tersisa, karena dilaporkan hanya ada lima dari mereka yang tersisa di seluruh Jepang. Profesi kuno yang sudah berusia 700 tahun itu pun kini didominasi oleh kaum wanita.
Source | : | Tokyo Weekender |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR